Waspadai Trik Syetan, Jangan Ingat Selalu Dosa Masa Lalu

Perlu diketahui, bahwa ada dalil keagamaan yang dibuat oleh ulama dan harus kita percaya. Meskipun tidak ada dalam Al-Qur'an dan Hadits. Karena itu kita harus yakin, bahwa ulama membuat dalil tersebut pasti disarikan (istinbath) dari Al-Qur’an dan Hadits.

Maka saja saya tanya kalian " Orang yang pernah berdos di Indonesia itu jumlahnya sampai 2 juta atau tidak? Atau ada 200 juta lebih warga Indonesia? Apa hanya 2 juta?

Umat Islam di Indonesia itu mungkin ada sekitar 220 juta. Kalau ada calon mubaligh atau dai mungkin anggap saja ada 2 juta. Jadi dai ada berapa persen? Kalau satu kampung ada 2 kiai, sedang jumlah penduduknya ada seribu, berarti tidak sampai 1 persen. Jika penduduknya ada 220 juta, berarti kiai-nya hanya ada 2 juta orang yang pintar atau tahu ilmu agama (calon kiai), misalnya.

Kalau dari semua orang yang pintar atau tahu ilmu agama tidak melakukan dakwah atau melakukan risalah-risalah dakwah, atau tidak melakukan kebaikan (amar ma’ruf) sebab punya alasan pernah melakukan dosa, “Saya tidak mau memberi tahu orang tentang shalat, karena saya pernah melakukan dosa. Diriku belum bersih, masak mau jadi kiai atau mengajar?”

Berarti membiarkan 2 juta orang yang semestinya berpotensi memberi kebaikan, sementara para pengedar narkoba tidak terpikirkan akan dosa, pengedar video porno tidak kepikiran dosa, dan para pelaku kemaksiatan juga tidak berpikir dosa.

Maka Imam Ghazali dan semua ulama marah besar , " Siapa pun yang memberi syarat jadi dai itu harus steril dari dosa, berarti golongan Khawarij". Karena kalau itu sebuah syarat, maka tidak akan ada mubaligh dan dai. Sebab, semua orang pasti pernah melakukan dosa.

Syekh an-Nawawi al-Bantani di dalam kitab al-Muhadzdzab, memaknai secara logika tentang adanya ayat:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

"Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?" (QS. Al-Baqarah: 44).

Ayat ini masalahnya adalah pada ahli kitab (Yahudi, Nasrani), bukan masalah kita. Kebaikan itu tanpa syarat dan selalu dinilai baik, tanpa perlu terbebani kamu pelaku kebaikan atau masih punya masa lalu yang buruk.

Misalnya begini, Anda naik motor pernah terjatuh karena melaju terlalu cepat. Suatu saat terpikir karena tidak berhati-hati, ada lubang lalu terperosok. Berarti ada punya masa lalu yang buruk karena terjatuh di kali. Dan yang ketiga, gara-gara kamu melihat cewek tidak konsentrasi, akhirnya terjatuh lagi. Jadi ada 3 kali terjatuh.

Apakah gara-gara Anda punya trauma terjatuh, jatuh dalam konteks maksiat, berarti jatuh dalam kemaksiatan. Umpama ada orang yang naik motor terjatuh karena terpeleset. Anda kan pernah terjatuh juga di situ. Seorang ustadz juga pernah terjatuh, kiai juga pernah jatuh. Maka saya tidak perlu menolong orang yang jatuh? Ini logika goblok apa pinter?

Menurut Abu Hasan Asy-Syadzili bahwa hal itu termasuk trik dari setan. Dalam kitab Ihya Ulumuddin disebutkan: “Termasuk di antara trik (tipu daya) dari syetan adalah mengingatkan terus seorang mukmin akan dosanya. Sehingga menjadi orang ahli ibadah, kebaikan keinginannya hilang. Karena yang tampak hanya mengingat dosa masa lalu. Dan termasuk rasa was-was, berasal dari bisikan syetan.”

Misalkan anakmu jatuh di jalan. Kebetulan yang pertama melihat itu seorang copet. Padahal anda pernah bilang ‘copet tidak boleh menolong anakku, karena omongan orang bersih. Jadi tidak boleh melakukan kebaikan" Kira-kira ketika anakmu ditolong copet saat terjatuh di jalan, kamu bilang terimakasih atau tidak? "Awas nak, jangan ditolong sama orang itu. Syarat menolong orang terjatuh itu yang pertama tidak pernah mencopet; kedua, tidak pernah zina dan ketiga tidak pernah dosa" Wah, kalau begitu tidak ada orang yang mau menolong.

Artinya, kebaikan akan selalu baik, apapun masa lalu Anda. Berjuang di jalan Allah, akan selalu baik, apapun masa lalu kita. Tapi orang-orang Khawarij membuat agama jadi rumit. “Syarat jadi kiai: tidak pernah dosa dan saleh. Syaratnya begini dan begitu.”

Maka Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: "Yang merusak umatku adalah orang Khawarij, sebab orang Khawarij itu orang yang tidak menerima kesalahan manusia dan tidak mau menerima kekurangan manusia". Mereka orangnya sangat khusuk. Nabi juga bersabda: “Mereka kalau shalat, mengalahkan para sahabatku. Dan kalau berpuasa, mengalahkan puasanya para sahabatku. Tapi otak dan kelakuannya jelek”.

Maka jangan itu kalau ngaji dengan ulama, jangan dengan orang yang hanya saleh (rajin ibadah) saja. Karena orang saleh itu terkadang goblok (tidak terima ilmu). Salehnya tidak terkira, tapi gobloknya juga tidak terkira.

Kata Imam Muslim, “Kamu harus percaya dengan ulama, jangan dengan orang saleh saja. Orang saleh itu wajib dihormati, tapi tidak boleh kamu ikuti. Sebab goblok nya tidak terkira. Sampai imam Muslim membuat ujaran :

Berikut adalah ekstraksi ulang teks Arab yang terdapat pada gambar:

لَمْ نَرَ الصَّالِحِينَ فِي شَيْءٍ أَكْذَبَ مِنْهُمْ فِي الْحَدِيثِ

Artinya: "Aku belum melihat orang saleh bohong, seperti bohongnya ketika mengutip Hadits."

Niatnya tidak bohong, tapi gara-gara bukan ahlinya, jadi akhirnya membohongi.

Imam Malik membawa dalil ekstrem lagi, “Saya di Madinah bertemu 100 orang saleh itu kalau dipercaya mengelola Baitul Mal, pasti tidak akan korupsi sama sekali.” Lalu Imam Malik ditanya, "Kenapa Anda tidak mengkaji hadits dengan mereka ? Dijawab : " Mereka itu orang saleh, tapi tidak tahu ilmu sama sekali. " Makanya banyak kiai yang orang saleh harus hormat. Kalau urusan ilmu harus tetap dengan ulama. Terkadang mereka tidak punya perhitungan.

Makanya ada pepatah-pepatah Arab:

فَسَادٌ كَبِيْرٌ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ وَآخَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكٌ
هُمَا فِتْنَةٌ فِى الْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ لِمَنْ بِهِمَا فِى دِيْنِهِ يَتَمَسَّكُ


"Dunia akan rusak, jika ada orang alim yang fasik. Dan akan tambah rusak, kalau ada orang bodoh yang terlalu rajin ibadah. Keduanya adalah fitnah bersar di dunia , bagi siapapun yang berpegang teguh mengikuti keduanya.”

Sebab orang bodoh yang suka ibadah, kalau ditanya fatwa, pasti benar, karena dia saleh. Padahal fatwanya keliru.

Kalau Anda memberi syarat seorang dai, ulama, kiai tidak punya masa lalu yang buruk, atau tidak pernah punya dosa, berarti Anda membatalkan dua juta orang yang punya potensi dakwah karena Allah, dari 220 juta penduduk. Ini memberi karpet merah para pengedar narkoba (ahli maksiat) ada berjuta-juta orang, dan tanpa ada syarat apapun. Sementara jadi dai itu butuh lisensi (ijin), apalagi lisensi dari kemenag, malah ribet lagi. Ada-ada saja!

Jadi yang wajib bagi orang Islam, jangan ingat lagi akan dosa. Itu bukan urusan kita. Kalau ingat itu Allah itu rasanya berbeda, misalnya Anda punya masa lalu buruk: "Ya Allah, terima kasih Gusti. Kau selamatkan saya dari maksiat itu, maka saya tidak selamat dari dosa tapi yang kamu puji itu Allah, apalagi lalu wiridan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

"segala puji bagi Allah yang telah menuntun kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi petunjuk kepada kami.” (QS. Al-A’raf: 43)

Itu wiridan yang paling dibaca oleh Allah. Dan malaikat juga jelas dalam mencatatnya, karena kalimat, sanad dan silsilahnya jelas.

Tapi kalau kamu hanya murung di kamar karena punya masa lalu yang nakal, "Buat apa dulu saya lakukan itu. Ya Allah, heran sekali saya.” Kalimat seperti itu disebut bukan kalimat thayyibah, karena itu meratapi takdir. Wiridan itu bukan kalimat thayyibah.

Jadi orang Khawarij itu membayangkan dunia harus steril. Orang khawarij jaman Nabi itu bernama Daud Khuwaishirah dari Bani Tamim. Kalau shalat, tidak ada sahabat yang sehebat orang Khawarij. Kalau baca Al-Qur'an, fasihnya bukan main. Sekali membaca Al-Qur'an itu sehari semalam khatam.

Makanya mohon maaf bagi orang yang hafal Al-Qur'an itu boleh senang, tapi tidak boleh terlalu bangga. Sebab dulu yang melawan Nabi itu orang yang suka membaca Al-Qur'an, tapi membacanya tidak dihayati.

Walhasil, saat perang Hunain itu Nabi SAW mendapat harta ghanimah (rampasan) banyak. Orang-orang Anshar yang sudah lama menolong Nabi mati-matian, tidak dikasih ghanimah sama sekali. Ini logika nubuwwah (kenabian) yang dipakai oleh Nabi.

Ketika Nabi diusir dari Makkah yang merawat orang Anshar. Sementara orang Makkah yang baru masuk Islam malah dikasih ghanimah yang banyak oleh Nabi.

Namun para sahabat, orang-orang Anshar dan Muhajirin tetap percaya berbaik sangka dengan Nabi. Semua yang dilakukan Nabi pasti baik. Makanya mereka tidak protes.

Kemudian datanglah orang Khawarij, bermata cekung berjenggot lebat, terus matanya melotot dan berkata, "Berlaku adillah, wahai Muhammad!" Sebagian riwayat mengatakan, "Bertakwalah kamu, wahai Muhammad!"

Masak baginda Nabi disuruh takwa? Masak pemimpin orang yang takwa disuruh takwa? Ini kan jadi lucu-lucuan. Nabi itu pemimpin orang bertakwa disuruh takwa. Itu namanya mengejek. "Pembagian harta seperti ini tidak mencari ridha Allah"

Jadi baginda Nabi dikritik, melakukan pembagian itu katanya tidak mencari ridha Allah? Makanya, rata-rata kiai tidak senang kalau punya santri terlalu khusyuk. Mbah Moen dan Bapak saya tidak suka dengan santri yang terlalu khusyuk, sebab dulu orang yang berani mengkritik Nabi itu orangnya sangat khusyuk.

Nabi menanggapi orang khawarij itu dengan santai :

فَمَنْ يَعْمَلْ إِذًا لَهُ أَكَمْلُ أَعْمَالِ

"Maka siapakah yang paling adil, kalau saya tidak bisa berlaku adil"

Padahal kamu anggap saya tidak adil, terus sedunia yang paling adil itu siapa? Padahal aku ini dipercaya langit, yang di langit saja percaya dengan aku masa kamu yang di bumi tidak percaya?

Setelah Nabi menjawab begitu, dia hanya berbalik ke samping dengan pergi. Lalu Nabi berkomentar, "Nanti keturunan dia itu nanti sukanya baca Al-Qur'an, tapi bacaan Al-Qur'an itu tidak masuk ke dalam hati. Mereka akan keluar dari Islam, seperti keluarnya anak panah dari busurnya."

Tapi Nabi itu unik, ketika Sayyidina Umar dan Khalid meminta izin, "Apa saya bunuh saja dia?" Jawaban Nabi justru, "Tidak! Jangan." Sebab dia Islam hebat. Shalat dan puasa dia hebat. "Kalau kamu membunuh dia, nanti saya akan dikenal sebagai orang pembunuh sesama Islam."

Jadi logika nubuwwah itu berbeda dengan logika LSM atau kita. Makanya saya khawatir, kalau kalian agak Khawarij, makanya saya menerangkan ini supaya tidak Khawarij.

Sebenarnya yang sudah lama berbakti itu lebih banyak diberi ghanimah, dibanding baru berbakti sedikit mendapat. Kita mungkin punya logika seperti itu. Tapi logika nubuwwah tidak seperti itu. Orang Anshar itu ketika Nabi datang, sudah menolong Nabi apa belum? Sudah!

Sebelum Nabi mendapat ghanimah, menolong Nabi apa belum? Juga sering menolong Nabi itu posisinya seorang yang heroik (pahlawan) apa bukan? Heroik.

Jadi menambah, menolong, terus memberi, itu sesuatu yang hebat. Nabi tidak ingin status menolong, memberi dan heroiknya orang Anshar itu batal, padahal sudah berpuluh-puluh tahun orang Anshar bermental memberi, menolong dan heroik terus.

Setelah Nabi kaya karena dapat ghanimah. Lalu ingin orang yang diberi. Status bermental dari mental memberi menjadi diberi. Itu berarti merendahkan orang Anshar dari heroik menjadi manja, pecundangan dan murahan.

Sementara orang-orang kampung yang baru masuk Islam, kalau tidak diberi begitu, tidak mau masuk Islam. Itu yang disebut muallafatu qulubuhum (yang dilunakkan hatinya), maka kata Nabi: “Orang-orang Anshar itu imannya sudah kuat, sehingga tidak perlu diberi pelayanan lebih.”

Sementara orang-orang kampung, kalau tidak saya beri perhatian lebih, mereka tidak mau masuk Islam.

Itulah logika Nubuwwah, tidak sama dengan logika LSM atau kita. Kalau logika nubuwwah itu rumit. Misalkan, saya punya dua anak dan kedua anakku sudah biasa menolong saya, ketika akan menolong saya dilayani. Maka kedua anakku tadi tidak saya kasih uang, karena dia sudah biasa heroik (jadi penolong), jadi sudah bagus dan mapan.

Jangan sampai orang yang biasa jadi pahlawan, kamu didik jadi pecundang. Makanya banyak kiai yang misalnya punya pengikut yang sering memberi uang. Ya dia biarkan, biar dia biasa memberi. Kalau kiyai punya uang, tidak usah membalas memberi, kasihkan saja ke orang fakir. Sebab orang yang biasa memberi kalau kamu kasih balik (uang), maka dia bisa berhenti bersedekah." Akhirnya dia berhenti memberi, maka dia tidak jadi beramal. Itulah logika nubuwwah, seperti itu. Wallahu a’lam bish-shawab.

Disarikan dan dirangkum dari kajian dan ceramah Gus Baha ( Dino Turocihan )

Sumber : majalah Aula edisi Juni 2023