Teruslah Berlatih Ikhlas dan Jangan Hakimi Orang Lain
Prof. Dr. M.Quraish Shihab, Lc, MA adalah seorang cendekiawan muslim terkemuka di Indonesia bahkan dunia. Beliau merupakan ahli tafsir Al-Qur'an dan Hadits dengan banyak karya, dan yang paling monumental adalah Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15 Volume. Jakarta: Lentera Hati, 2003).
Saya pernah dinasihati Pak Quraish Shihab, tentang alasan beliau tidak berkenan dipanggil "habib". "Karena yang dipanggil habib sudah banyak, makanya saya ingin dipanggil Pak Quraish saja, tidak habib, dan sejak dulu memang begitu."
Faqih Muqaddam itu termasuk golongan habib, bahkan termasuk sesepuhnya para habib, tapi orang-orang memanggil beliau dengan sebutan "Syeikh Faqih", karena kealiman beliau dalam ilmu fiqih, orang-orang memanggil beliau dengan "Faqih Muqaddam" (ahli fikih yang terdahulu). Padahal nama asli beliau Muhammad Bin Ali. Syeikh Abdul Qadir Jailani juga demikian, tidak mau dipanggil sayyid atau habib.
Tapi jangan salah, semua begitu, semua tidak mau disebut habib. Biarlah apa adanya, yang tidak mau disebut habib mungkin karena sikap tawadhu' (rendah hati), tapi bagi mereka yang mau disebut dengan habib, jangan sampai menjadikan sombong diri.
Seperti sebutan "Gus" bagi putra kiai. Mungkin kalau di sini disebut "Gus" beliau di Madura dipanggil "Mas". Tapi ada juga beberapa contoh dimana seorang "Gus" dipanggil "Kang", seperti di Cirebon. Ya sudah biasa saja, makanya pola fardhu kifayah ini harus kita jaga. Supaya Islam itu tetap bisa melingkupi semuanya. Paham ya?
Misalkan, ketika kamu menasihati fitnah perempuan, apa kita kamu membiarkan perempuan diajar oleh orang fasik? Ya, malah repot. Tapi jika kamu yang mengajar, lalu membuat anjuran, "Orang saleh harus mengajar perempuan!" Memangnya iman dan takwamu seberapa? Terserah kamu pilih mana.
Hal seperti ini kita bisa memakai konsensus fardhu kifayah. Fardhu kifayah adalah status hukum dalam Islam yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini bisa gugur bagi muslim yang lain. Contoh aktivitas yang tergolong fardhu kifayah, yaitu: Menyalatkan jenazah orang muslim; Memandikan, mengkafani serta mengubur kan jenazah orang muslim; Belajar ilmu tertentu (misalnya kedokteran, ekonomi, dan tajwid), dan lain-lain. Ya, sudah, pokoknya diatur bagaimana baiknya.
الْإِعْرَاضُ عَنْ فِتْنَتِهِنَّ، الْإِعْرَاضُ عَنْ تَرْبِيَتِهِنَّ وَتَأْدِيبِهِنَّ.
Ketika kamu ingin menghindari fitnah perempuan, berarti kamu juga menghindar untuk mengajari mereka. Makanya semua pondok putri di Indonesia itu terlambat. Seperti pondok di Sarang, dulu pondok putri riwayatnya tidak banyak, karena pasti ada perdebatan antara baik tidaknya jika ada pondok putri.
Di Yaman juga sama. Yang membuat pondok putri pertama adalah Habib Umar bin Hafidz, karena dulu masih terjadi perdebatan, makanya pondok putri di seluruh Indonesia, itu pasti lahirnya terlambat, karena pasti ada perdebatan.
Pokoknya saya minta, kalau ngaji harus fokus. Nabi itu tidak pernah menegur orang, kecuali urusan ngaji, yakni hari Jumat, saat nabi mulai membaca khutbah Jumat, berkata "diam" pada orang yang berbicara saat khutbah saja salah, padahal itu kata positif untuk mengingatkan orang agar mendengarkan khutbah Jumat. Apalagi kalau yang dibaca adalah ayat Al-Qur'an.
Kalau ngaji ya fokus ngaji, karena saya belum pernah ngaji bawa gawai sejak awal jadi kiai sampai sekarang. Dan belum pernah tidak fokus kalau ngaji.
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
"Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan." (QS. Qaf: 37)
Berarti kalau berani ngaji, maka hatinya harus fokus, dan harus menyaksikan proses ngaji. Jangan ngaji karena mengejar ingin bisa wiridan lain. "Nanti selesai Gus Baha ngaji, mau cium tangan deh!" Itu sudah tidak fokus ngaji namanya. Kalau mau ngaji ya harus fokus, betul ingin memahami apa yang dikaji. Kalau selesai ngaji bacalah:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ
"Maha Suci Allah, aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh kerelaan-Nya, seberat timbangan 'Arsy-Nya dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya."
Pentingnya wiridan tersebut adalah kita ini kan terkadang tidak paham alasan Allah menciptakan orang fasik dan orang kafir. Walaupun kamu tidak paham pun, tetaplah yakin bahwa Allah itu Maha Suci atas adanya makhluk-makhluk-makhluk yang diciptakan, termasuk makhluk yang tidak kamu sukai, bahkan orang-orang yang kafir yang ingkar kepada Allah yang telah menciptakannya. Meskipun kamu tidak paham atas ciptaan-Nya tersebut, tapi Allah tetap Maha Suci sejumlah makhluk yang diciptakan Allah.
Sudah syariat, pasti kita tidak paham tak apa-apa. Tapi tak bisa memahami tidak apa, kok tak kenal Allah? Kita tidak bisa memahami ada orang yang suka zina atau maling. Kita tidak bisa memahami secara syariat, karena itu adalah sebuah kemungkaran. Makna dari munkar yaitu kita tidak tahu sesuatu yang tak bisa dipahami, suatu yang diingkari oleh akal dan hati yang selamat. Tapi bagaimana pun juga itu semua adalah ciptaan Allah. Ya sudah, pokoknya mensucikan Allah sejumlah makhluk ciptaan-Nya.
Meskipun kamu tidak paham pun, makanya saya minta tetap selesai ngaji itu mau wiridan apa tidak itu terserah, tapi wiridan, juga sebagai pengingat untuk mensucikan Allah dengan sejumlah makhluknya.
Jadi misalnya, seperti kamu tidak paham sekarang kenapa dibuat miskin oleh Allah, padahal kamu sendiri yang mengalami. Sudah miskin, istri berani, dan tetangga juga tidak ada peduli. "Kenapa saya miskin begini, Gusti?"
Lho, kamu sendiri yang mengalami saja tidak paham, kok yang lain disuruh memahami. Tapi sebaliknya demikian, kamu tetaplah banyak membaca:
"Maha Suci Engkau wahai Gusti. Walaupun ciptaan-Mu sebagian seperti saya, tetapi Engkau tetap Maha Suci."
Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْتَدَوْا بِهِ مِن سُوءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ
"Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai segala apa yang ada di bumi dan ditambah lagi sebanyak itu, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari azab yang buruk pada hari Kiamat. Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang dahulu tidak pernah mereka perkirakan." (QS. Az-Zumar: 47)
Jangan mengira, kalau sudah jadi gus, kiai atau mubaligh, Allah jadi tidak berani mengazab atau menghisabmu. Kalau salah ya salah saja, walaupun dia dijuluki sebagai gus, kiai atau habib. Sebaliknya, apa menurutmu kalau sudah jadi bajingan (orang jahat), Allah juga tidak bakal mengampuni. Allah tetap saja bisa mengampuni. Allah tetap bisa mengampuni ataupun menyiksa siapa saja yang Dia Kehendaki.
وَمَن يَمْتُ وَلَمْ يَمْتُ مِن ذَنْبِهِ فَأَمْرُهُ مُفَوَّضٌ لِرَبِّهِ
"Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan belum bertaubat, maka urusannya kami diserahkan kepada Tuhannya."
Orang mati lagi belum bertaubat itu ya urusan Allah, bukan urusanmu. Tapi keinginan orang yang kesal atau benci padanya, "Pasti disiksa dia!". Lho, kamu itu tuhan? Tuhan kok bisa sudah bilang "pasti disiksa."
Lalu saat ada Ustadz Fulan meninggal bilang, "Beliau pasti masuk surga." Kok bilang pasti, memangnya panitia surga itu siapa? Memangnya punya orang dalam, kok bisa bilang "pasti masuk surga".
Makanya, terkadang saya setuju dengan guyonan orang awam, "Ingin masuk instansi? Memangnya kamu punya orang dalam?" Maksudnya orang masuk sebuah instansi atau kerja kan harus punya "orang dalam", yang melancarkan proses rekrutmen pada instansi tersebut. Makanya menurut saya, dalam hal ini, orang awam benar. Makanya kalian mau masuk surga, harus perbanyak baca shalawat. Karena yang punya surga dan pasti akan memberikan syafaatnya kelak di hari kiamat adalah Baginda Nabi SAW. Sekali ruhmu tersambung dengan ruh Baginda Nabi SAW dan menganggapmu sebagai anggotanya, maka aman.
Jadi menurutku teori punya orang dalam agar bisa masuk surga, jadi harus punya orang dalam, semisal Nabi SAW, sebelum wafatnya mengatakan "Umatku, umatku..." Kalau kita sudah diakui sebagai umat Nabi Muhammad SAW berarti aman, punya kartu anggota, dan yang memberi tanda tangan adalah Baginda Nabi SAW. Walaupun masuk surganya ada yang langsung atau tidak langsung, tapi akhirnya masuk surga juga.
Berarti terkadang, orang awam niatnya guyon, tapi setelah diangan-angan, kok ada benarnya. "Ingin masuk surga? Memangnya punya orang dalam?" Ikut mubaligh juga kurang kuat, tidak bisa jadi orang dalam, tidak tersangkut saat hisab aja sudah bagus. Lha, wong dalil satu ayat saja bisa jadi hisabnya satu jam, bagaimana?
Seorang mufasir saja, satu ayat dijelaskan dalam satu jam, karena itu membutuhkan banyak macam ilmu. Tapi kalau mubaligh, satu ayat bisa jadi dua jam penjelasannya, kok bisa ya?
Mubaligh yang berceramah yang dicolok-cocolokkan, bahkan yang terakhir adalah khasiatnya. Saya yang sudah banyak baca kitab tafsir saja, tidak tahu kalau ada khasiat seperti itu. Kok mubaligh bisa tahu?
Bapak saya kan hafal Al-Qur'an, ketika mendengarkan para mubaligh kadang penjelasannya ada yang aneh, atau bahkan berlebihan. Misalnya, bagi orang yang hafal Al-Qur'an dan tahu bahwa kita ini disuruh ikhlas. Allah berfirman:
خَشِيَيْنَ اللَّهَ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
"Mereka berendah hati kepada Allah dan tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga murah." (QS. Ali Imran: 199)
Lalu ada mubaligh yang pidato, "Orang yang hafal Al-Qur'an harus mulia, jangan sampai dihina orang." Kita kan baca Al-Qur'an, tahu bahwa nabi dan orang-orang baik itu dalam sejarah hidupnya adalah pernah disakiti. Kok malah ada ajaran "harus hidup mulia" itu ngajinya dari mana?
Itu omongan karena nafsu, karena dia membayangkan orang saleh itu harus mulia. Lho, wong nabi yang dekat dengan Allah saja mengalami disakiti.
Jangan pernah kalian bilang harus mulia. Kalau mubaligh bilang, "mubaligh itu harus dapat" itu malah benar. Entah dapat pahala atau uang, pokoknya harus dapat.
Mbah Maimoen menjelaskan kepada saya itu sederhana. Kamu harus mengajar ngaji seperti ini, kalau pidato mubaligh itu setengah mencari bekerja, karena dapat uang jajan. Misal, Mbah mengatakan bahwa pidato mubaligh itu ada setengah bekerja, karena mendapatkan imbalan (uang), langsung kaya, yang ikhlas itu seperti ini.
Makanya saya minta, ngajilah seperti ini, dan tidak usah sowan. Sowan itu kalau ada urusan, jangan-jangan kalau tidak memberi salam dianggap tidak lega. Ribet jadinya. Pokoknya kalau ngaji ya ngaji. Saya ya latihan ikhlas, dan Anda juga latihan ikhlas.
Pokoknya harus ikhlas. Tidak usah minta untuk dihormati dan disambut.
قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ، اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُم مُّهْتَدُونَ
"Dia berkata, Wahai kaumku, ikutilah para rasul itu! Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Yasin: 20-21)
Jadi definisi rasul adalah orang yang menyampaikan amanat (risalah) Allah. Tapi dalam surat Yasin, disifati orang dengan dua hal yakni? Selain orang yang tidak minta upah, Ayat itu tamparan bagi kita semua yang biasa membaca surah Yasin, agar jangan berharap imbalan.
Jadi Allah itu begitu pintarnya. Semua itu ada etikanya. Kalau sudah berani jadi kiai itu, maka harus berani miskin. Seandainya kamu sudah tahu butuh uang, ya memang wajar sebagai manusia pasti butuh biaya untuk hidup. Bisa sambil berdagang, atau bertani bagi yang punya sawah atau ladang.
Saya maklumi jika ketika menanam tidak ikhlas, karena ingin panen, dan ketika dijual ingin untung. Tapi kalau ketika ngaji, ya yang ikhlas. Itu sudah bagian dari perfeksionisme, karena saya pun tidak ingin kamu perhatikan, saya sudah asyik dengan Allah.
Saya malah tinggal dengan orang yang tidak ikhlas. Kan enak hidup dengan Allah daripada dengan makhluk yang tidak jelas, tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat. Apalagi kalau orang yang kamu sembah itu bukan daripada manfaatnya. Kalau tidak membahayakan dan tidak memberi manfaat, kan masih baik. Tapi kalau malah membahayakan dan tidak memberi manfaat? Jadi hidup ikhlas itu harus dilatih, kalau perlu dipaksa.
Singkat cerita ada kiai yang bertanya, "Gus, saya tadi jadi makmum di masjid ini, imamnya itu begini begini, dia seperti tidak ikhlas."
Lalu saya berkata, "Kamu itu shalat karena Allah apa karena imam? Jika shalatmu memang niat sujud kepada Allah, ya walaupun yang jadi imam juara MTQ atau Parmin, ya sama saja.
Asalkan menghadap kiblat dan baca Fatihahnya benar, ya kalau orang yang jadi imam itu pernah juara MTQ se-Jateng, akan pasti diterima shalatnya?"
Seakan-akan Allah seperti diteror. Masak imamnya juara MTQ tidak diterima? Jadi apa usul legitu. Ibadah shalat ya shalat saja yang ikhlas. Sampai sangat ingat imamnya itu begini begini, sebenarnya kamu itu ingat Allah apa ingat imam?
Saya shalat dimanapun pun ketika jadi makmum tidak pernah sekalipun komplain. Karena shalat itu untuk mengingat Allah, shalat kok jadi seperti juri yang menilai imam.
Jadi, ikhlas itu orang yang tidak meminta imbalan (dalam berdakwah) kepadamu. Terkadang ada yang nakal mengkritik, "Itu untuk nabi, berhubung kita bukan nabi, ya tidak apa-apa." Ketika diceritakan ada ulama yang ikhlas disanggah lagi, "Itu kan ulama dahulu!" Jadi ada saja jawabannya.
Bedanya apa antara ulama dulu dengan sekarang? Ulama dulu, ya hamba Allah dan terkena aturannya. Dan ulama sekarang juga terkena aturan Allah, jadi sama saja. Bahkan pendakwah dulu musuhnya lebih berat dari kita hingga penjajah Belanda, dipukul bahkan diusir. Pada zaman sahabat tantangannya lebih berat hingga nabi difitnah seperti berselingkuh dan bermacam-macam tuduhan. Kalau pendakwah itu musuhnya dengan tetangga yang hasud sedikit, paling tantangannya digunjing di media sosial.
Pokoknya ikhlas itu dilatih, karena kita tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengglobalkan ketaatan kepada-Nya. Bawa uang seratus ribu sedekah dengan penuh keikhlasan. Bahkan jadi orang bodoh juga ikhlas menerima takdir Allah, "Saya ridha menjadi bodoh, Gusti. Saya bodoh juga Engkau yang membuat."
Jika engkau ingin pintar, maka sepintarmu itu hasil belajar dan ngaji, untuk menghilangkan kebodohan. Bukan menjadi mau ya terserah. Sudah terlanjur ikhlas dengan kebodohan yang permanen. Walaupun Islam itu pintar.
Disarikan dari kajian dan ceramah Gus Baha. (Dino Toroichan)
Sumber : majalah Aula edisi Juli 2024