Ternyata, Tak Ada Rezeki yang Halal 100 Persen
Sebagai orang yang beragama dan beriman, orang itu harus terus berpikir. Karena dalam sebuah riwayat disebutkan:
الدِّينُ هُوَ الْعَقْلُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَقْلَ لَهُ
"agama adalah akal, maka tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal"
Sesuatunya yang berwujud itu bisa berupa handphone, bolpen, atau yang lain. Jika sesuatu ditempelkan namanya kumpul (menyatu), jika dipisahkan namanya pisah. Tapi pisah dan kumpul adalah hal yang tidak wujud. Anehnya, hal yang tidak wujud itu sekarang ada yang diimani.
Ada orang yang siap mati demi menegakkan demokrasi. Lalu, apakah demokrasi itu wujud? Makanya orang yang seperti itu perlu bertobat. Apakah nanti kalau di akhirat akan ditolong demokrasi? Tidak juga kan. Makanya sudah benar bahwa iman kalian itu kepada Allah dan Nabi-Nya, karena beriman kepada hal yang wujud.
Lalu, kalau Anda mengimani fungsinya makanan, minuman atau makhluk selain Allah, itu benar wujud, tapi wujud yang berkesudahan. Maka akan disalahkan juga oleh Allah. Hal yang akan berakhir dan berkesudahan kok kamu imani.
Makanya kita hanya beriman kepada Allah, karena hanya Dia yang Maha Hidup dan Kekal. Makanya Allah berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ
"Dan bertawakkallah kamu kepada Dzat yang hidup tidak bisa mati, dan bertobatlah dengan memuji-Nya." (QS. Al-Furqan: 58)
Karena jika kamu percaya presiden, dia akan mati. Percaya pada yang memang wujud, tapi akan mati. Presiden kan juga bisa bingung. Paham ya.
Uang juga akan hilang, bahkan sebelum mati uang sudah hilang duluan, yang ngurip-urip itu kan kamu. Jadi, uang itu sebenarnya sudah baik diam saja, sudah mati. Paham ya. Nah, orang kafir itu suka mendewa-dewakan amal, padahal hakikatnya seperti fatamorgana yang disangka air oleh orang yang dahaga.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
"Orang-orang yang kufur, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar. Orang-orang yang dahaga menyangka air, hingga apabila ia mendatanginya, ia tidak menjumpai apa pun." (QS. An-Nur: 39)
Berarti imannya seperti orang kafir, bagai fatamorgana yang disangka air. Tapi kenyataannya tidak ada. Inilah hebatnya Al-Qur’an. Jadi kita harus berpikir, bahwa demokrasi yang kita bela-bela itu sesuatu yang tidak wujud.
"Kita harus bersambung, kita harus punya visi bersama." Terserah apa yang para politisi ucapkan, yang penting mulai sekarang kamu beriman. Yang penting jika menurut Allah baik, maka lakukan atas perintah Allah. Karena ini demi sesuatu yang wujud. Jangan sampai Allah tidak kamu libatkan. Karena berarti kamu beriman pada sesuatu yang tidak wujud.
Seperti sekarang, akhlak disebut etika. Kebaikan disebut norma. Allah tidak pernah dilibatkan. Kebaikan bersama, norma bersama. Sekarang Allah itu seakan-akan sudah hilang (tidak terlibat).
Pokoknya setiap kebaikan itu disebut etika atau norma. Tidak pernah menyebut, "Allah dan Rasulullah yang mengajarkan ini". Lama-lama bahkan orang sampai bisa membayangkan tanpa landasan agama. Karena merasa sudah bisa menemukan norma tanpa agama. Lucunya banyak santri yang ikut-ikutan. Itu adalah musibah, musibah yang sesungguhnya.
Ketika di dunia demokrasi dibela mati-matian, nanti di akhirat, demokrasi itu tidak ada. Yang ada itu Allah, dan Allah akan menyalahkanmu. Yang ada itu malaikat munkar nakir, dan mereka akan menyalahkanmu.
Makanya sekarang dilatih, iman itu dimulai dari sesuatu yang benar-benar wujud. Di luar itu, namanya perkara nisbi atau perkiraan.
Jadi etika, norma dan demokrasi itu bukan sesuatu yang wujud, melainkan ahwal. Dan ahwal itu tidak bisa menolongmu. Makanya untuk bisa menolong, sesuatu ini harus wujud. Lha, setelah sama-sama wujud, sekarang makhluk juga wujud. Tapi wujud yang bisa berkesudahan itu tidak bisa diimani.
Jadi ini sindiran Allah. Jika seseorang berbuat salah, itu bagaikan kegelapan yang berlapis-lapis. Kegelapan yang berlapis-lapis itu mengerikan.
Saya punya cerita dan kisah nyata. Ada seorang penjual mie. Dia pernah mondok (santri). Pokoknya saleh dan tidak pernah berbuat zina. Dia mengatakan, "Sampean benar Gus, ternyata zalim itu mendorong kezaliman. Saya mungkin orang paling saleh di kota ini, tapi juga ikut berbuat zalim."
Jadi, dulu saat Kramat Tunggak ditutup. Lokalisasi pertama yang terbesar di Asia Tenggara yang ditutup itu Kramat Tunggak. Sekarang diubah jadi Islamic Center. Ditutup pada masa Gubernur Sutiyoso. Baru kemudian lokalisasi Dolly jadi yang terbesar, dan akhirnya ditutup pada masa Wali Kota Tri Rismaharini.
Jadi yang pertama (paling besar) itu dulu lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta. Ketika Sutiyoso jadi gubernur itu ditutup, dia itu orang baik, karena kenal dengan Syekh Yusuf Qardhawi. Saya itu karena ikut jadi kenal anaknya Syekh Yusuf Qardhawi, dulu ketika menerjemahkan Fikih Zakat. Makanya ketika Fikih Zakat diterjemah, yang membiayai adalah Pemerintah DKI Jakarta.
Lalu, saat lokalisasi Dolly di Jawa Timur ditutup, itu ada kejadian lucu. Penjual mie tadi merasa janggal. Jadi karena di situ ada lokalisasi, supir taksi laris bisa mengantar banyak penumpang silih berganti, penjual mie pun laris dagangannya, padahal mereka itu bukan orang yang ikut berzina. Lama-lama dia jadi berpikir, saat hendak ditutup, dia berpikir, "Aduh, pelangganku habis nanti."
Nah itu lucunya, itu kezaliman, bayangkan kalau kezaliman itu sudah jadi sistem ekonomi. Dengan adanya lokalisasi, ibu kos dapat keuntungan. Para penjudi, penjual pulsa, supir taksi, tukang becak juga akan dapat keuntungan semua.
Jadi ternyata yang protes ketika Dolly ditutup itu bukan hanya pria hidung belang, orang-orang sekelilingnya yang tak pernah berzina, juga ikut protes. Karena takut nanti usahanya sepi. Paham ya, itu kan lucu.
Dia pun lalu berpikir, "Astaghfirullah! Santri macam apa saya ini, kenapa saya ikut menyesal, hanya karena kemudian usahanya jadi sepi"
Memang begitulah kezaliman. Kalau sudah ada satu kesamaan, pasti akan menarik kezaliman lainnya. Karena yang tidak ikut-ikutan jadi ikut zalim. Begitu juga sebaliknya, kebaikan juga begitu.
Andaikan makam Wali Songo ditutup, maka travel pariwisata akan pusing. Pebisnis di sekitar Wali Songo juga pusing, tukang parkir di kawasan situ juga pusing. Jadi, andaikan Indonesia itu pemerintahannya Wahabi, lalu makam Wali Songo ditutup. Itu yang protes dari mulai tukang parkir, penjual mie, warung dan sebagainya. Sama seperti nasibnya saat penutupan Dolly.
Artinya, kebaikan itu membawa efek ekonomi, keburukan juga membawa efek ekonomi. Masalahnya kalau tidak ada ulama, tidak ada yang menjelaskan. Kebaikan dan keburukan itu akan sama-sama jalan. Makanya, di sinilah pentingnya zakat. Andaikan tidak ada zakat, habislah kita. Karena dengan begitu harta (rezeki) yang kita dapatkan bisa menjadi bersih setelah dikeluarkan zakatnya.
Saya punya teman akrab. Saya juga sering diberi uang olehnya. Dia pernah cerita ke saya, "Gus, saya ini orang Lamongan, kerja di Jakarta. Jadi, warung saya itu pelanggannya kadang ibu-ibu saat jam 4 sore sampai Isya itu masih normal saja. Tapi kalau sudah jam 2 malam dini hari, itu jarang ada yang normal, Gus."
"Ya, husnuzhan saja kalau dia orang baik," ujarku. "Husnuzhan gimana, Gus. Dia merayu di depanku. Transaksinya di hadapanku, saya paksa husnuzhan itu tidak bisa," jawabnya santai.
"Lalu uang hasil jualan tadi saya kirimkan untuk adik saya yang sedang mondok. Itu hukumnya bagaimana, Gus?" Lanjutnya.
Jadi kalau jam 4 sore masih normal, tapi mulai jam 2 dini hari ke atas itu pelanggan yang orang yang tidak normal. Maka saya berseloroh, "Kalau betul kamu santri, ya jam 2 malam tutup." Dia jawab, "Waduh, justru itu pas lagi ramai-ramainya, Gus!"
Tapi jangan-jangan kita sok suci sendiri, sama saja, cuma bisnis sekarang begitu.
Makanya yang disesali ulama modern, kenapa ulama dulu mencontohkan I'anah alal ma'shiyat dengan menjual pedang ke tukang begal. Sama saja, kalau sekarang bisa disamakan menjual pulsa ke pria hidung belang juga dipakai untuk selingkuh. Betul tidak?
Makanya ada ulama modern mengkritik, "Ulama dulu itu bagaimana? Kenapa mereka mencontohkan orang zalim selalu dengan menjual pedang".
Sekalipun orang zalim, kalau kamu tidak menjual nasi kepadanya, dia akan lapar dan tak akan berbuat zalim. Berarti yang dosa itu bisa mulai dari yang jual nasi atau jual pulsa, sama saja. Menjual alat bangunan juga sama. Karena dengan bangunan, orang-orang jadi bisa mojok di bilik. Jadi di dunia ini semuanya sama dan saling berkaitan.
Makanya Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
"Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa." (QS. An-Najm: 32)
Makanya kita wajib zakat, karena kita tidak pernah tahu. Mungkin kita tidak pernah maksiat langsung. Tapi efek dari perilaku atau sistem di sekitar kita, sehingga ada secuil rezeki yang tidak halal (haram) pada rezeki yang kita dapatkan.
Saya punya santri seorang supir bus, dia menulisi busnya dengan "Semoga selamat sampai tujuan". Saya suruh copot, karena menulisi seperti itu bisa saja menjadi doa bagi semua. Misalnya saja ada penumpangnya yang ingin mencuri atau menipu tempat prostitusi, apalagi kalau ditulis lengkap, "Semoga keinginannya terkabul." Kalau dicopot, tak usah seperti itu.
Kalau memang ingin mendoakannya, begitu saja "Semoga yang baik kesampaian." Daripada menulisi "Semoga keinginannya terkabul." Berarti cita-cita mencuri terkabul rencananya. Begitu pula yang sedang menuju tempat maksiat.
Makanya Syeikh Abdul Qadir al-Jailani yang dikenal sulthonul aulia (rajanya para wali) yang begitu alim saja bingung menghadapi fenomena seperti ini, sama beliau punya fatwa yang masyhur. Saya masih ingat betul redaksi dari kitabnya beliau, kitab Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, beliau mengatakan:
فَأَعَانَهُ عَلَى إِثْمِهِ فَهُوَ مِثْلُهُ
"makanya yang namanya halal itu ya halal, tapi a'in (fisik)nya tidak akan halal."
Jadi, itu halal 100 persen, sama beliau itu tidak bisa. Sama beliau, halal itu cuma 50 persen. Jadi, beliau tidak berani menjamin, bahwa a'in (fisik) tidak bisa halal 100 persen.
Mau bagaimana, misalnya kamu jadi penjual nasi atau yang dagang, orang beli lalu bayar, itu normal. Ada yang dagang pecel di Bringharjo, bayar normal, ada orang yang mau ngantor di lembaga riba, jelas dosa. Ada yang mau ngantor di prostitusi, dosa. Ada yang mau mangkal di percopetan, jelas dosa.
Tapi karena kita jadi sopir, pokoknya kalau ada yang order bayar, ya berangkat. Nah itu lah maksud dari fal halalu halalu hukmin. Kita halal menerima uang itu, karena secara hukum halal. Tapi kalau ain nya : copet bayar ke kamu pakai uang copetan. Beli pulsa dari uang hasil copet. Sedangkan yang dagang pulsa itu santri, dan hasil jual pulsa dia pakai untuk salam tempel pada kiyainya. Sudah, tidak usah munafik. Kalau ain nya tidak bisa, pasti bermasalah.
Usaha warung juga sama, pelanggannya ada yang saleh yang makan di warung supaya kuat shalat. Tapi ada juga orang zalim uang makan agar kuat lari saat mencuri atau mencopet. Jualan pulsa juga sama, kalau yang beli santri yang beli mungkin untuk silaturrahim atau mengumumkan pengajian.
Tapi kalau tukang selingkuh, lalu bagaimana hukum menjual pulsa kepadanya. Masak kalau jual pulsa, ada kriteria kalau yang beli itu santri dan kepentingannya benar, maka boleh beli di sini ? Begitu juga jualan beras. Yang makan demi kepentingan ibadah, silahkan beli di sini. Yang tidak, jangan. Kalau ada pengumuman seperti itu, tetap saja pasti banyak yang berbohong. Lantas yang halal itu bagaimana ?
Kamu mau buat contoh lagi tukang parkir. Ternyata ada pelanggan parkir yang tukang selingkuh, dia pun bisa tenang karena mobilnya ada yang jaga. Berarti kamu ikut memberi kontribusi keamanan dia dalam berselingkuh. Betul tidak ? Jadi semua itu saling tersangkut paut dan berkaitan.
Contoh lagi, toko tasbih itu kan jual alat untuk wiridan, tapi kalau menurut faham wahani, wiridan pakai tasbih itu syirik, justru dosa besar. Belum lagi kalau tasbihnya pakai benang dari Cina ( non musim ) yang membuat mereka jadi kaya, tapi kekayaan itu mereka pakai untuk kekafiran.
Makanya imam Ghazali mengatakan :
Di dunia ini cuma ada satu yang halal murni, yaitu air yang jatuh dari langit yang langsung kamu tangkap dengan tangan atau mulutmu tanpa atap, karena atap ( genteng ) itu bisa jadi masalah kalau yang membuat bukan orang benar.. Wallahu a’lam bis-shawab.
Disarikan dari ceramah dan kajian Gus Baha, (Dino Taroschan)
Sumber : majalah Aula edisi April 2024