Suka Beramal Baik tapi Ujub (Sombong), Awas Bahayanya!

Islam adalah agama yang *rahmatan lil alamin* (memberi rahmat bagi seluruh alam).  

Setelah beriman, seorang muslim dianjurkan untuk selalu beramal baik sebagai perwujudan atas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits menjelaskan tentang keutamaan dan pentingnya beramal saleh setelah seseorang beriman. Bukan hanya saleh dalam beragama Islam sebagai *abid* (ahli ibadah), tapi juga saleh terhadap sesama manusia (saleh sosial), walaupun berbeda agama.  

Tapi kalau ada *abid* (ahli ibadah) yang kurang *alim* (berilmu) tapi berani berfatwa, saya itu geregetan sekali. Kalau hanya jadi ahli ibadah, ya tidak usah berfatwa. Karena fatwa mereka punya resiko besar bagi agama ini.  

Maka betul kata Sayyidina Ali *karramallahu wajhah:*  

فَسَادُ كَبِيرُ عَالِمُ مُتَهَتِّكُ وَأَكْبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ  

Kerusakan besar yaitu orang yang berilmu tapi fasik (gemar maksiat), dan kerusakan lain yang lebih besar adalah orang yang bodoh namun tetap bersikukuh menjalankan ibadah dalam kebodohannya.

Para ahli ibadah kalau berfatwa berundung begini: "Pokoknya orang baik itu harus steril." Orang yang jelek seolah tidak boleh berbuat baik, masalahnya dia pernah berbuat keburukan. Itu kalau difatwakan terus bisa meruntuhkan agama. Itu sama dengan mengatakan:  

"Orang yang pernah berzina tidak usah jadi orang baik. Pernah mencuri tidak usah jadi orang baik."  

Tapi orang saleh yang alim fatwanya tidak begitu: "Kebaikan itu tidak akan dilarang sampai hari kiamat. Karena kebaikan itu bisa disebut *al-masyru'* (sesuatu yang disyariatkan)."  

Maka jangan jadi *abid* yang suka berfatwa, kalau mau ibadah ya ibadah yang istiqamah saja, tidak usah berfatwa tanpa dasar ilmu agama yang kuat. Karena sekali berfatwa bisa berakibat buruk, terkadang fatwanya itu sangat *ngawur*.  

Sekarang lihat saja di Jakarta, berapa mantan preman yang jadi kiai. Itu membuat agama ini bisa berjalan dan diterima di berbagai tempat.  

Ada mahasiswa yang dulu suka pacaran dan playboy, ketika taubat jadi kiai, dimana saja itu bisa terjadi. Setelah taubat, lalu ikut memarakan agama. Ada juga yang mondok tapi cuma tiduran aja saat ngaji, ternyata bisa jadi kiai. Ya, sudah jangan diributkan.  

Orang yang pernah bercerai, pidato di pernikahan tentang *mawaddah wa rahmah*. Terima saja jangan diprotes. Padahal dia sendiri pernah bercerai. Masak hanya karena pernah bercerai lalu pidatonya, "Tidak apa-apa bercerai, saya juga pernah." Tidak mungkin seperti itu, ajaran macam apa kalau begitu?  

Tanpa banyak pikir berpidato, "Pokoknya orang menikah itu harus *mawaddah wa rahmah*. Insyaallah hidupnya berkah."  

Saat pidato seperti itu, ternyata masyarakat juga lupa akan masa lalu kiai. Tapi karena kita yakin akan betapa luasnya hamparan kebaikan atau rahmat Allah. Jadi, perkataan baik oleh orang yang biasanya urakan (preman) itu berangkat dari nur di dalam hati. Perlu diketahui, bahwa perbuatan maksiat manusia itu tidak akan membahayakan rahmat Allah.  

Jadi, saya kadang merenung kenapa orang-orang yang nakal macam Sayyidina Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang dahulu sangat memusuhi Nabi, tapi jika Allah berkehendak mensucikan maka akan jadi suci, bahkan bisa jadi khalifah dan jadi orang terbaik sedunia.  

Saya bayangkan, misal Allah punya gedung pencakar langit konstruksi beton, lalu ada semut nakal banyak tingkah. Senakal-nakalnya semut itu apa bisa menjadikan gedung tersebut runtuh.  

Sebagaimana kalian kalau melihat planet, galaksi atau bintang, maka manusia itu bagi Allah laksana semut di gedung pencakar langit. Sebagaimana pesawat yang besar sekalipun, kalau dilihat dari Mars tidak akan tampak.  

يَا نَفْسُ لاَ تَقْنَطِيْ مِنْ زَلَّةٍ عَظُمَتْ إِنَّ الْكَبَائِرِ فِي الْغُفْرَانِ كَاللَّمَمِ

Wahai jiwaku! Janganlah putus asa karena dosa besar yang telah dilakukan. Sesungguhnya dosa-dosa besar dalam luasnya ampunan Allah adalah kecil!

Jadi bukan menyepelekan dosa, tapi dosa besar jika dibandingkan ampunan Allah itu seperti sesuatu yang sepele. Maka ketika kamu jadi kiai dan pidato baca *Bismillahirrahmanirrahim*, dalam hatimu meyakini begitu luasnya rahmat Allah.  

Tidak usah banyak pikir, lalu baca istighfar, dalam hatinya: "Tuhan ini bukan karena saya sok suci. Tapi ini semua karena yakin akan luasnya rahmat-Mu."  

Bahkan ada sebagian wali yang menurut mereka taubat yang baik itu yang lupa akan dosa. Bukan bermaksud melupakan dosa, tapi ingat masa lalu kadang mengganggu kenyamanan hubungan dengan Allah SWT. Makanya kalau kamu punya kesalahan itu kadang baiknya dilupakan, maksudnya jangan diingat-ingat terus. Tapi bukan karena sombong, melainkan karena sekarang waktunya menyongsong datangnya rahmat Allah.  

Pembuktiannya bisa dianalogikan dengan orang kaya yang mantan orang miskin, ketika ingat masa miskinnya maka temannya tidak akan pernah diajak makan sate bareng. Karena dulu uang itu sangat berharga, sekarang tidak boleh mengeluarkan uang sembarangan. Karena ingat saat miskin, setelah kaya selalu hemat, akhirnya jadi pelit, karena takut miskin lagi.  

Akhirnya mobil dicuci sendiri, kambing digembalakan sendiri, bagaimana bisa membagi berkah kekayaannya dengan orang lain, jika semua dilakukan sendiri. Alasannya, saya teringat dulu buat makan saja susah. Orang kaya yang bagus itu yang lupa masa lalunya, tidak banyak berpikir, akhirnya kalau ketemu teman suka mentraktir makan bareng. Ketemu orang miskin mau berbagi (infaq dan sedekah).  

Jadi sesuatu yang baik itu akan jadi syariat sampai hari kiamat. Ibnu Atha’illah pernah berkata:  

كُلُّ كَلَامٍ يُبَرِّزُ وَعَلَيْهِ كَسَوَةُ ٱلْقَلْبِ ٱلَّذِي مِنْهُ بَرَرَ  

Setiap ungkapan yang terucap menunjukkan kondisi hati yang mengucapkannya.

Pada setiap ucapan ada perhiasan hati, dan dari perhiasan hati itulah muncul ucapan. Jadi ucapan wali atau ulama yang dapat merasuk ke hati pendengarnya, itu karena ucapan tersebut berasal dari nur yang ada di hatinya.  

Jadi misal begini, Syekh Abdul Qadir Jailani dan Imam Al-Ghazali, mereka itu terkenal wali. Pada bab taubat itu ketika mengucapkan (*ngendikan*) seolah tidak ada orang zalim, sebab semua punya peluang dapat rahmat Allah. Tapi ucapan ini bukan karena menganggap sepele maksiat, melainkan karena mengakui luasnya rahmat Allah.  

Sehingga orang yang menerima kebetulan menginginkan kebaikan. Artinya itu tidak disimpulkan menyepelekan dosa.  

Saya ceritakan dari kitab *Ihya Ulumuddin*, ada dikisahkan begini: Ada seorang begal, yang tidak ada baiknya sama sekali. Dia masyhur sebagai begal karena sudah 40 tahun lamanya. Jadi begal dua tahun saja sudah jelek, ini sampai 40 tahun.  

Ketika melihat ada Nabi Isa dan seorang Hawari (pengikut setia Nabi Isa) sedang berjalan berdua. Begal tadi spontan berucap, "Orang kok begitu baiknya, aku ingin berjalan bersama mereka, barangkali bisa dapat berkahnya."  

Ketika berjalan bersama dan *jejer* (sejajar) dengan orang Hawari tadi, dia pun merasa risih. Orang Hawari lalu berpindah ke samping Nabi Isa. Akhirnya preman tadi sendirian di belakang Nabi Isa dan Hawari yang berjalan sejajar di depannya. Tapi dia bersyukur pernah bersanding (berjalan sejajar) dengan orang Hawari tersebut, karena begitu cintanya dengan orang baik.  

Saat itu juga Nabi Isa dapat wahyu dari Allah, "Wahai Isa, dua orang ini harus memulai amal dari nol." Nabi Isa pun bertanya, "Maksudnya bagaimana, Gusti?"  

Katakan pada orang Hawari (santri andalanmu) yang jalan bersamamu:  

"Semua amalnya aku hapus karena sombong (ujub). Dan preman (begal) ini semua kejelekannya aku hapus karena tawadhu’. Sampaikan pada mereka berdua, untuk sama-sama memulai amalnya dari awal (nol)."  

Orang Hawari itu pun menangis. Habis semua. Orang kalau *ujub* (menyombongkan) amal baiknya maka bisa jadi akan habis, dihapuskan semua pahala amal baiknya.  

Ibaratnya, kamu sehari mandi lima kali itu pasti bersih, namun jika tercebur sekali ke dalam kotoran maka pasti langsung kotor. Demikian juga sebaliknya, orang yang tiap hari membersihkan septic tank (terkena kotoran), sekali mandi akan jadi bersih. Tuhan buat perumpamaan seperti itu.  

Gersang karena kemarau setahun bisa dihapus dengan hujan sehari. Orang yang maksiat setahun begitu taubat sekali maka selesai, dihapus semua keburukannya yang lalu. Orang kafir 40 tahun, lalu bertaubat dan masuk Islam sebelum maut menjemput, maka dosa kafirnya yang 40 tahun dan yang diperhitungkan hanya amal baiknya, walaupun hanya setahun.  

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ

Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa dan menunaikan zakat serta bagi orang-orang yang beriman pada ayat-ayat Kami. (QS. Al-A’raf: 156)  

Di dunia ini orang baik itu tidak jelas, demikian juga orang jelek. Yang jelas hanyalah betapa luasnya rahmat Allah.  Termasuk takwa itu menghilangkan sifat sombong, sok suci, dan merasa benar sendiri.  

Nabi itu kalau mencontohkan orang taubat habis-habisan. Ada orang telah membunuh 99 orang dan dia ingin bertaubat. Tanya kepada seorang pendeta dijawab tidak bisa, maka dibunuh sekalian sehingga genap seratus.  

Kalau bertanya pada ulama, mungkin akan dijawab, "Siapa yang boleh menghalangi seseorang untuk bertaubat?" Tapi kamu sekarang punya tradisi berbuat jelek, maka sering-seringlah pergi mengaji (mengikuti kajian Islam).  

Ada kisah tentang mengaji dapat rahmat berkat 50 plus 1, jadi bukan hanya KPU saja, malaikat itu dulu sudah punya teori 50 plus 1.  

Ada seorang ahli maksiat yang sudah berniat untuk hijrah (mengaji) ke daerah yang baik, tepat di tengah perjalanan dia mati. Malaikat Azab sudah bersemangat, karena ada bidikan (yang akan diazab). Saat hendak ditarik oleh Malaikat Azab, tapi Malaikat Rahmat tidak terima, "Dia adalah bagianku karena niatnya mau mengaji." Kata Malaikat Azab, "Tidak bisa, ini bagianku, dia orang bermasalah, sering berbuat maksiat."  

Maka terjadilah perdebatan antara dua malaikat tersebut. Lalu Allah mengutus Jibril, "Wahai Jibril, berilah keputusan." Malaikat Jibril itu kan terpelajar, "Kalian ribut-ribut ini maksudnya apa?"  

"Ini dia mau mondok, berarti niatnya baik," kata Malaikat Rahmat. Kata Malaikat Azab, "Tidak bisa, dia orang bermasalah, sering maksiat." Malaikat Jibril lalu memberi solusi, "Kalau begitu diukur saja jarak perjalanannya."  

Setelah diukur ternyata 50 plus 1. Dia telah melewati 50 persen dari rumahnya menuju tempat mengajinya, tapi jelek cuma lebih satu langkah. Bahkan tidak sampai lebih satu, baru 50 koma sekian.  

Tapi ternyata itu dimenangkan oleh Malaikat Jibril, artinya dia dianggap orang baik. Jadi teori 50 plus 1 itu kuno, pernah diriwayatkan dalam sebuah hadis.  

Ini menunjukkan adanya rahmat Allah, bukan berarti Allah mengabaikan dosa, tapi bukti bahwa rahmat Allah itu begitu luas. Jadi jangan merasa sok suci (paling baik amalnya) seperti orang Hawari tadi yang jadi santri andalan Nabi Isa. Gara-gara dia sombong (ujub) lalu amal baiknya ditarik (dihapus pahalanya) oleh Allah SWT.  

نَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ ٱلْذَّٰلِكِ  

Disarikan dari kajian dan ceramah Gus Baha. (Dino Turoichan)

Diambil dari Majalah Aula edisi Juli 2025