Satu Tujuan Jalan Menuju Allah, Kok Bisa Ribut?
Perlu diketahui, saat terjadi dualisme kepemimpinan maka pasti rawan adanya gesekan. Baru proses pencalonan saja, para pendukung sudah saling bentrok. Apalagi setelah pemilihan, ada juga yang sudah mengklaim menang padahal perhitungan belum selesai. Gelas itu berbenturan karena berjejer (bersanding), jika tidak berjejer mustahil akan terjadi benturan.
Pernah ada yang bertanya, “Gus, sebenarnya kenapa Anda jarang mau jadi imam (pemuka/tokoh) golongan sana maupun golongan sini?”
Saya jawab, “Jadi imam itu bagus, tapi ketika ada dualisme kepemimpinan maka rawan terjadi gesekan.”
Ini saya bukan geer, jangan dianggap sombong. Dimana-mana, ketika ada dualisme kepemimpinan maka rawan gesekan. Gelas itu berbenturan karena berjejer (bersanding), jika tidak berjejer akan berbenturan dengan siapa?
Maka sebagai orang alim harus jaga jarak, baik dengan pengurus masjid, madrasah atau organisasi. Harus ada jarak, karena awal dari benturan itu sebab selalu berjejer (bersanding).
Jika niatnya benar seperti itu, maka yang memimpin dengan benar akan dapat pahala, yang menghindar agar tidak berbenturan juga sama. Karena niatnya sama-sama menciptakan kedamaian di antara manusia.
Seperti Sayyidina Hasan bin Ali, ia tidak senang memimpin. Ia sadar kalau memimpin akan jadi rivalnya Mu’awiyah. Kalau jadi rival Mu’awiyah, nanti akan terus berbenturan seperti masa ayah beliau, Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Akhirnya Sayyidina Hasan diangkat derajatnya setinggi-tingginya oleh Allah sebab menghindari jadi pemimpin. Karena kalau tetap memimpin akan terjadi gesekan. Yang saya tiru itu Sayyidina Hasan, makanya saya tidak terlalu ambisi maju sebagai pemimpin atau petinggi organisasi atau lembaga manapun.
Tapi tidak maju bukan karena tidak laku, kalau itu parah namanya. Kalau seperti itu, entah dapat pahala atau tidak, karena kenyataannya tidak laku. Tapi bisa tetap dapat pahala sebab ridha dengan tidak lakunya. Tapi itu beda lagi karena maqamnya ridha dengan takdir Allah. Jadi, usai maqam rendah karena tidak laku, kemudian jadi tinggi maqamnya karena ridha takdir Allah.
Jadi orang yang ambisinya memimpin madrasah itu bagus, karena menjalankan perintah agama Allah dalam hal pendidikan. Tapi kalau sudah ada tokoh maju yang diperkirakan menimbulkan gesekan dengan kita, maka sebaiknya mundur, seperti Sayyidina Hasan.
Sayyidina Hasan itu tidak ikut memimpin. Ia di hadapan 30.000 orang berpidato mengatakan bahwa pemerintahan ini milik Mu’awiyah. Karena ia sadar jika memimpin atau merasa jadi pemimpin, maka akan ada rivalitas antara dirinya dan Mu’awiyah.
Jadi filosofinya mudah, adanya benturan terjadi karena jejer (bersandingan). Caranya agar tidak berbenturan bagaimana? Ya, jangan berjejer. Makanya antar gus yang alim itu sebaiknya jaga jarak, jangan terlalu sering bertemu.
Saya jaga jarak itu karena menghormati, karena rawan benturan. Kalau sampai ada benturan antar orang alim itu menjadikan repot. Itulah pandainya agama, semua ada ilmunya.
Makanya Nabi Khidir itu Nabi yang tidak pernah memimpin. Ya memang, ada Nabi seperti Nabi Khidir, tidak pernah memimpin hanya mengajar saja. Sebab kalau memimpin akan benturan, tidak pernah berjumpa Nabi Musa saja, sekali berjumpa langsung bertengkar. Kalau sering bertemu di masjid mungkin akan geger? Dengan yang tidak pernah bertemu saja, sekali bertemu langsung ribut.
Setelah saya renungkan, Tuhan itu begitu baiknya. Ada dua figur yang berbeda tradisi sekali bertemu langsung ribut. Bayangkan, misalkan Nabi Khidir dan Nabi Musa sama-sama memimpin, lalu ada yang jadi penggemar Nabi Musa dan yang lain jadi penggemar Nabi Khidir.
Lalu keduanya sama-sama konser; penggemarnya lebih banyak mana? Sama-sama memimpin tarekat, lebih besar mana pengaruhnya? Nabi kok kamu perlakukan begitu.
Akhirnya, mereka sama-sama jaga jarak. Nabi Khidir berkelana ke lautan, berjalan sambil baca tasbih. Sementara Nabi Musa memimpin Bani Israel, ketika dia merasa sumpek akhirnya konsultasi. Setelah usai konsultasi, lalu berpisah lagi.
Pertama gojlokannya, “Kamu tidak akan bisa ikut saya, bukan levelmu,” kata Nabi Khidir. Karena beda tradisi.
Misal kamu mengambil sikap tidak memimpin organisasi karena ingin menghindari konflik dan itu terbukti baik, maka jalani saja.
لَيْسَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. (QS. An-Nisa: 114)
Islah paling mudah adalah menghindari hal-hal yang berpotensi menimbulkan konflik. Misal yang berpotensi konflik di masjid atau madrasah, tentu yang rawan konflik adalah orang yang ditokohkan. Kalau yang tidak rawan, seperti siap jadi pengikut itu tidak akan menimbulkan konflik.
Makanya, orang-orang yang rawan ditokohkan itu harus bisa bersikap. Jika kamu tidak rawan ditokohkan, maka yang semangat saja, karena orang tidak akan menjadikanmu tokoh.
Makanya harus tahu hal-hal semacam itu. Jadi saya ini senang sekali dengan masjid dan juga madrasah. Senang sekali dengan NU maupun Muhammadiyah. Semua organisasi besar saya senang. Karena kalau organisasi sudah tua itu amalnya sudah banyak.
Cocok ataupun tidak kamu harus menghargai organisasi yang sudah lama, pasti amal dan kontribusinya untuk Islam sudah banyak. Dulu itu semua rukun dan biasa saja, sekarang saja pada ribut sendiri.
Kalau kamu kurang yakin karena itu dikritik orang, maka tidak masalah karena Allah membenarkan. Misal di bab kekayaan, kamu itu kiai lalu beli mobil baru. Di hatimu, jika aku tidak punya mobil, maka panitia pengajian akan bingung pinjam sana-sini buat penjemputan. Jika aku tidak punya mobil, maka santri yang akan bingung memikirkan kiainya. Berarti kamu beli mobil demi memudahkan umat, bukan memikirkan diri sendiri, dan itu dapat pahala dari Allah.
Tapi kalau niatmu untuk kegagahan, kiai kalau tidak naik mobil tidak dihargai orang, ini zaman akhir. Berarti kamu brengsek.
Farji’ ila ilmillahi… Maka kembalilah ke ilmu Allah yang ada padamu. Lihatlah hukum Allah di posisimu itu bagaimana. Jika ilmu dari Allah belum membuatmu menerima. “Kalau menurut Allah pasti benar, tapi aku ini manusia yang kalau dilihat orang lain itu bagaimana?”
Jika ilmu Allah tidak membuatmu menerima, maka musibahmu karena tidak menerima ilmu Allah itu lebih besar, dari musibahmu yang berupa hal-hal yang menyakitkan dari manusia.
Jika ada orang tidak merasa cukup dengan ilmunya Allah SWT karena dikomentari orang, lalu merasa sakit hati berarti orang tersebut dapat musibah paling besar yakni tidak menerima ilmu Allah SWT itu sejelek-jelek manusia.
Maka saya minta kalian yang senang dengan anak istri. Paling enak itu memimpin anak istri. Orang sepakat jika kamu pantas kamu jadi pemimpin keluarga, anakmu juga sepakat kamu sebagai bapaknya.
Tapi kalau memimpin orang lain, kadang-kadang satu tarekat dipimpin oleh tarekat lain, kadang tidak terima. Syattariyah ribut dengan Naqsyabandiyah, Tijaniyah juga begitu. Dulu ada kerusuhan di Surabaya sekitar tahun 1936, karena penggemar Syattariyah didemo oleh pengikut tarekat lain.
Kata pengikut Syattariyah, imam paling hebat itu Imam Syathiri. Yang lain tidak terima, “Tidak bisa, lebih hebat imam ini…” Akhirnya NU membuat keputusan dengan (memfasilitasi) banom yang mengakomodir tarekat mu’tabarah. Akhirnya Syattariyah dan Tijaniyah masuk yang mu’tabarah. Dulu itu kalau beda tarekat akan ribut. Kalian harus tahu hal-hal semacam itu. Paham ya?
Orang-orang alim sekarang tidak terlalu tahu tarekat. Terlalu lama tidak tahu, lama-lama tidak bisa bertarekat sama sekali. Seperti saya ini sudah tidak bisa betul, terlalu lama tidak tahu. Tapi bapak saya itu sangat Syadziliyah, tapi dalam hal perilaku bukan amaliyahnya. Sejak kecil, yang sering diceritakan ya Imam Syadzili. Tapi saya dinamakan Bahauddin, karena beliau juga suka dengan tarekat Naqsyabandiyah yang didirikan Imam Bahauddin An-Naqsyabandi.
Makanya kita harus percaya dan tahu bahwa Naqsyabandiyah, Qadiriyah atau Syadziliyah, termasuk tarekat mu’tabarah yang sanadnya bersambung pada Rasulullah SAW. Tapi masalahnya, kalau sudah urusan pemimpin itu pasti bisa ribut. Apalagi memimpin organisasi yang mengakomodir berbagai aliran tarekat.
Jadi, baiknya ulama itu jika ada mursyid tidak terlalu berkumpul, karena kalau berkumpul akan terjadi gesekan. Nanti penggemarnya berujar, “Lebih hebat mana ya?” Kok malah dibanding-
bandingkan, mereka sama-sama terhormat. Makanya terkadang ulama yang arif itu harus berbicara dan meluruskan. Misal, ajarannya cuma istighfar saja, maka ulama harus mengingatkan. Dalam Sayyidul Istighfar itu ada kalimat: Abuu-u laka binikmatika alayya (aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku).
Dalam Al-Qur’an juga ada ayat fasabbih bihamdi rabbika (maka bertasbilahlah dengan memuji Tuhanmu), baru kemudian wastaghfirhu (dan mohonlah ampunan-Nya).
Kamu kalau cuma istighfar tanpa memuji Allah berarti begitu sombong, cuma ingat salahnya saja. Tidak ingat akan nikmat yang selalu diberikan Allah. Paham ya?
فَإِنْ كَانَ لَا يَقْنَعُكَ عِلْمُهُ فَمُصِيبَتُكَ بِعَدَمِ قَنَاعَتِكَ بِعِلْمِهِ أَشَدُّ مِنْ مُصِيبَتِكَ بِوُجُودِ الْآذَى مِنْهُمْ
Jika pengetahuan-Nya tidak juga membuatmu puas, maka penderitaanmu karena tidak merasa puas dengan pengetahuan Allah itu jauh lebih menyakitkan daripada penderitaanmu karena disakiti manusia.
Ini kata Al-Hikam lagi:
إِنَّمَا أَجْرَى الْأَذَى عَلَى أَيْدِيهِمْ كَيْ لَا تَكُوْنَ سَاكِنًا إِلَيْهِمْ
Sesungguhnya Allah menjalankan tangan-tangan manusia untuk menyakitimu agar kamu tidak condong kepada mereka.
Kamu jadi kiai selalu digunjing tetangga, jadi suami selalu dikritik oleh istri. Manusia di sekelilingmu itu suka mengkritik dan menyakitimu. Kata Al-Hikam, ambillah sisi positifnya, yakni agar kamu tidak condong atau senang berlebihan kepada mereka.
Maka ketika tetangga suka mengkritikmu, “Ya Allah, betapa baiknya Engkau. Ini semua agar saya tidak selalu berkumpul dengan mereka hingga lupa dzikir kepada-Mu, maka dijadikanlah mereka tidak menyukaiku.”
Akhirnya aku tidak sering bercengkrama bersama mereka dan selalu ingat Allah. Alhamdulillah.
Jadi, kata Al-Hikam ketika ada orang yang disakiti oleh orang lain, maka anggap saja agar kamu tidak tenang bersama mereka, akhir kembali ingat kepada Allah SWT.
Bukan malah dianalisis, “Dia tidak suka padaku karena faktor apa ya?” Lalu merenung lama sekali, “Ada apa ya? Salahku apa?” Orang kok tidak tahu salahnya sendiri. Justru makin enak. Anggap saja tidak disukai orang itu justru lebih baik, tidak ada yang mengganggu.
Kata Imam Syafi’i, “Hidup bagaimana pun itu selalu baik. Kalau punya teman, ajarkan kepada teman untuk jadi baik. Jika diabaikan orang, berarti kamu dibebaskan oleh orang itu. Sebab orang jika tidak suka kamu, dia tidak akan hutang padamu.” Tidak akan pinjam mobilmu. Namanya juga tidak suka.
وَمَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ فَقَدْ أَطْلَقَكَ
Orang yang berbuat buruk kepadamu berarti dia membebaskanmu.
Jika kamu berjumpa orang yang tidak menyukaimu, tidak khawatir dia hutang padamu. Justru berbahaya jika kamu didatangi orang yang suka kamu, “Ada maksud apa ini? Jangan-jangan mau hutang?”
أَرَادَ أَنْ يُزْعِجَكَ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى لَا يَشْغِلَكَ عَنْهُ شَيْءٍ
Dia ingin membuatmu kesal terhadap segala sesuatu agar tidak ada yang melalaikanmu dari-Nya.
Terkadang Allah menghendaki kamu kesal dengan segala sesuatu selain Allah. Karena kesal lalu menghindari. Sehingga sesuatu tersebut tidak menyibukkan kamu dari Allah. Jadi jangan sampai kamu kecewa dengan hal tersebut, karena itu bisa membuat kamu sibuk hingga mengalahkan (lupa) Allah SWT.
Misalkan, kamu selalu rukun sama istri terus mungkin tidak akan sempat ke masjid, inginnya selalu bercumbu berdua. Tapi saat istrimu merajuk (ngambek) tidak mau tidur bersama, baru kamu ingat Tuhan dan shalat Tahajud. Itu kan bagus.
Berkahnya istri menolak tidur sama kamu, baru kamu istighfar, introspeksi diri dan ingat Tuhan. Lalu pergi ke pojok sambil bawa sajadah dan shalat. Kalau sama istri akur terus tidak pernah bertengkar, mungkin tidak sempat dzikir (ingat) kepada Allah.
Menurut Al-Hikam, segala sesuatu itu selalu bagus dan harus disikapi positif. Ketika sedang akur lalu lanjut tidur bersama, itu bernilai ibadah. Ketika sedang pisah ranjang lalu mojok untuk shalat Tahajud juga bernilai ibadah. Jadi keduanya bagus (positif). Peristiwa hidup apa saja itu selalu dinilai positif oleh Al-Hikam. Di balik semua peristiwa yang terjadi pasti ada hikmah yang Allah berikan. Wallahu a’lam.
Disarikan dari kajian dan ceramah Gus Baha. (Dino Turoichan)
Sumber : majalah Aula edisi Juni 2025