Saat Politik Mempengaruhi Ibadah
Dalam sebuah hadits, Baginda Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ ، فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ
"Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa yang telah mendirikan shalat, maka dia telah mendirikan agama. Namun siapa saja yang meninggalkan shalat berarti dia telah menghancurkan agama."
Melaksanakan shalat pada waktunya sesungguhnya tuntunan Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 103:
إِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
"Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS An-Nisa: 103).
Maksudnya, mendirikan, memperjuangkan atau membela shalat merupakan tiang agama. Karena shalat merupakan dasar atau pokok agama. Maka tegaknya agama ini tidak lain adalah dengan shalat. Baik mengerjakan shalat, mendirikan shalat, memfasilitasi shalat, pokoknya semuanya.
Seperti halnya rumah yang tidak akan tegak kecuali dengan adanya tiang. Shalat merupakan perwujudan sifat ketundukan manusia. Dengan shalat, seseorang akan nampak sebagai hamba Allah, bersimpuh pada-Nya, dan menunaikan apa yang menjadi hak ketuhanan Allah.
Semua jenis ibadah merupakan perantara untuk menegakkan rahasianya shalat. Di sinilah saya perlu menekankan mengenai hakikat shalat sebagai tiang agama. Yang dinamakan shalat yakni mengerjakan (mendirikan) ibadah sesuai dari takbiratul ihram sampai salam sebagai penutup.
Perlu dipahami, shalat ini ibadah di dunia nyata, misalkan kamu tidak makan, maka tidak akan bisa shalat. Sebab ketika badan lemas kita berdiri saja susah, apalagi melakukan shalat sehingga perlu ada perantara. Orang disuruh makan tujuannya agar kuat shalat. Kemudian ada perantara lagi, sebagai ungkapan Nabi Ibrahim AS.
Nabi Ibrahim AS adalah nabi yang luar biasa, beliau dijuluki Khalihur Rahman (Kekasih Dzat yang Maha Pengasih). Beliau tahu, bahwa fisik manusia jika tidak makan itu tidak bisa shalat, sehingga beliau itu merayu Allah dengan doa-Nya:
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS Ibrahim: 37)
Jadi, Nabi Ibrahim memohon: "Ya Tuhanku, berikanlah pada penduduk Makkah, atau siapa saja yang beragama Islam. Berilah mereka agar bisa makan. Jika bisa makan maka akan bisa shalat."
Sehingga para ulama juga ada yang mengqiyaskan begini: Kalau kita tidak punya otoritas politik, maka bisa jadi shalat akan dilarang. Sehingga kita juga harus menjaga otoritas politik agar shalat tidak dilarang. Caranya bagaimana?
Misalkan saya buruh di pabrik milik orang China (nonmuslim). Gara-gara saya buruh maka dilarang shalat karena dianggap ganggu jam kerja. Jika mampu, saya pasti membuat koalisi buruh menuntut hak shalat. Saya harus melakukan itu, demi bisa mendirikan atau tegaknya shalat. Atau jika ada mencari orang Islam kaya dan bisa membuka lapangan kerja baru yang memperbolehkan shalat.
Terkadang kita keliru, mengira bahwa menunaikan shalat itu yang penting diri sendiri sudah melaksanakan shalat. Kebanyakan kita tidak berpikir bahwa untuk bisa shalat itu dibutuhkan kekuatan ekonomi dan politik.
Dalam Ilmu Tarikh (sejarah), Islam datang ke Selat Malaka (Malaysia), Pattani (Thailand) dan Indonesia itu hampir bersamaan. Cuma kebetulan, karena Muslim Pattani lebih zuhud dan tidak terlalu memikirkan politik, sehingga wilayahnya sekarang dikelola (dikelilingi) oleh non muslim, hingga pernah tiba-tiba saja shalat dilarang di Thailand. Alhamdulillah, sekarang pemerintah Thailand lebih toleran ke pada umat Muslim di sana.
Indonesia sebaliknya, para kiainya suka berpolitik dan berlanjut sampai sekarang. Buktinya, pada era Wali Songo, meski umat Islam di Jawa (Indonesia) baru dua generasi, tapi sudah bisa mendirikan Kesultanan Demak Bintoro.
Jangankan berani melarang, di Indonesia sekarang jika tidak shalat, maka tak akan bisa jadi presiden. Jadi sekarang shalat itu malah jadi syarat untuk jadi pemimpin. Coba bayangkan, gubernur kalo tidak shalat, maka tidak dipilih. Calon presiden kok tidak shalat, maka pasti tidak akan dipilih.
Jadi, karena redaksinya Al-Qur'an itu yuqimus-shalat (mendirikan shalat), agar shalat itu berdiri, kokoh oleh karena itu, tapi jalurnya begitu dan wariqgasya. Dan itu membutuhkan berbagai macam hal tadi.
Nabi Ibrahim mencontohkan dengan kekuatan ekonomi, bahwa untuk shalat itu harus ada makan dan kebutuhan akan makanan. Lalu dalam ayat Al-Qur'an, Nabi Muhammad dicontohkan, ciri utama agama apabila sudah menang adalah:
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
"Dan sungguh Dia (Allah) akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An-Nur: 55)
Ciri utama kemenangan Islam itu, ketika orang melakukan shalat, ajaran Islam tanpa rasa takut. Inilah maksud dari "wala yumakkinanna..." ("Allah meneguhkan bagi mereka"). Hal tersebut merupakan tanda futuh dari Allah, membuka dan menjadikan negara di mana shalat di situ tidak perlu takut lagi. Allah membuat tamkin, yaitu kemampuan untuk melaksanakan ibadah secara netral.
Lalu lanjutan ayatnya: "wala yubaddilannahum..." ("Allah akan menukar keadaan mereka). Dan mereka melaksanakan ibadah itu merasa aman, tenteram, tidak diganggu. Dulu, para sahabat itu shalat secara sembunyi-sembunyi, sesudah Fathu Makkah baru shalat terang-terangan. Jadi ciri utama agama itu harus (merdeka) jika kamu merasa tamkin (memungkinkan) bebas untuk beribadah.
Saya banyak membaca kitab tarikh (sejarah) karya para ulama. Di antara isi kitab tarikh itu, ada pertanyaan, kenapa kok semua nabi menguasai negara?
Tidak ada nabi yang tidak menguasai negara. Nabi Muhammad SAW juga akhirnya menguasai Makkah dan Madinah setelah peristiwa Fathu Makkah, karena dengan menguasai maka shalat dan ibadah lainnya tidak akan ada yang mengganggu akan dilarang. Dulu orang shalat di Masjidil Haram itu dilarang, orang Islam shalat di mana-mana dilarang, setelah akhirnya Islam kuat secara politik, lalu berani shalat secara terang-terangan.
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَاعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
"Maka sampaikanlah ( Muahhmad ) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang yang musyrik." (QS. Al-Hijr: 94)
Di Indonesia sekarang perkembangan Islam bagus, bahkan orang yang tidak shalat itu akan ditandai (tidak dicoblos dalam pemilu), akhirnya bisa tidak terpilih. Mencari istri bagi orang yang malas shalat itu susah sekarang. Sudah hebat pokoknya. Semakin lelaki terlihat khusuk akan semakin mudah mendapatkan istri.
Jadi shalat itu harus didirikan dan ditegakkan. Bahkan mazhab Imam Haramain shalat itu harus didirikan di tempat yang berbeda-beda dan diketahui orang, jadi bila ada orang shalat sendirian di bawah pohon bambu itu tidak sah, menurut Imam Haramain.
Shalat harus di tempat terbuka, terutama shalat fadhu. Meski shalat dilakukan jemaah di rumah masing-masing, karena syiar Islam belum nampak maka boleh diperangi. Makanya syarat shalat berjamaah itu harus di tempat terbuka, karena agama ini butuh syiar (show). Islam itu ada demi tegaknya shalat, bukan shalat dilakukan demi islam.
Jadi menjaga dan memperjuangkan agar orang bisa makan itu demi tegaknya shalat (agar orang bisa shalat). Menguasai politik itu agar shalat tidak dilarang. Kita menguasai publik agar publik terinspirasi oleh hukum Islam yang berupa shalat.
Sehingga kata Imam Haramain semua shalat ber-jamaah (shalat fardhu), kalau sekadar sah itu mungkin sah, tapi masih boleh diperangi oleh penguasa jika dikerjakan hanya pada satu tempat saja. Jadi jika kampung itu luas, maka di tengah desa harus ada jamaah, di pojok-pojok desa yang biasa ditempati genderuwo, juga harus ada jamaah shalat biar genderuwo-nya akhirnya kabur.
Ini pentingnya saya utarakan, karena malaikat itu menangis kalau bumi Allah yang tak dipakai untuk shalat atau bersujud. Karena itu malaikat itu menstatuskan bumi sebagai tempat sujud. Dalam sebuah riwayat hadits, Nabi SAW bersabda:
«فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ: جُعِلَتْ صُفُوْفُنَا كَصُفُوْفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُوْرًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ، وَأُعْطِيْتُ هَذِهِ الْآيَاتِ مِنْ آخِرِ الْبَقَرَةِ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ لَمْ يُعْطَهَا نَبِيٌّ قَبْلِيْ»
"Kita diunggulkan atas manusia yang lain dengan tiga perkara: (1) barisan kita dijadikan seperti barisan malaikat; (2) seluruh permukaan bumi dijadikan untuk kita sebagai masjid; dan (3) tanahnya dijadikan untuk kita sebagai alat bersuci jika kita tidak mendapati air; dan aku diberikan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah ini dari suatu perbendaharaan di bawah 'Arsy, yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku." (HR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasai).
Semua bumi Allah itu hakikatnya adalah tempat sujud, sehingga kalau tidak ada yang sujud itu bumi itu kecewa sekali. Maka shalat itu harus ditempat berbeda-beda, di mana-mana, supaya ada syiar.
Ini juga penting untuk saya jelaskan masalah mendirikan shalat dan pentingnya jamaah, agar shalat yang keliru akan ikut benar, yang tertolak itu diterima. Kalau orang dahulu, jika ada 40 orang itu pastu salah satunya wali, karena tidak mungkin 40 orang yang jamaah tidak ada wali sama sekali. Shalat itu bisa benar, sebabnya berkahnya jamaah dengan banyak orang.
Saya punya kitab disertasi Prof. Dr. Muhammad Dieb, putranya Syekh Rajab Dieb. Ayahnya profesor, anak juga profesor. Beliau menulis kitab judulnya Fiqhu Imam Haramain, yang menganalisa cara berfikihnya Imam Haramain, salah satu guru dari Imam Al-Ghazali.
Imam Haramain itu orang yang sangat luar biasa. Beliau orang Irak, beliau kesal Makkah menjadi kota yang mati dari ilmu. Kesalnya ulama itu mustajab. Beliau akhirnya tinggal di Makkah dan mengajar secara asal-asalan atau dalam bahasa Arab disebut ishmam, artinya tuli tidak mempedulikan, makanya saya terjemahkan ngawur atau asal-asalan, tapi tidak seperti ngawurmu yang tak ada qiyasnya.
Beliau mengajar di Makkah. Dasar orang keramat. Ketika mengajar mengaji banyak. yang benci pun banyak. Namun beliau tetap mengajar.
Setelah Makkah sudah ramai dengan ilmu, beliau pindah ke Madinah. Beliau tidak terima Madinah sepi dari ilmu. Karena itulah ia diberi gelar Imam Haramain. Semenjak itu Mekkah dan Medinah ada geliat keilmuan. Beliau berfatwa: "sholat jamaah itu tidak cukup di satu tempat saja, di beberapa tempat yang berbeda-beda semua sama adalah bumi Allah, tidak boleh dipisahkan dari sujud."
Saya punya kitab karya imam Haramain ada 8-9 julid, yaitu Nihayatul Mathlabi fi Dirayatil Mazhab. Ini merupakan kitab induk. Jadi imam Ghazali bisa alim begitu karena berkahnya dididik oleh Imam Haramain yang luar biasa.
Jadi melihat perjuangan Rasulullah seperti itu, sampai jihad dan perang berkali-kali melawan orang kafir, itu agar shalat bisa tegak berdiri di bumi Allah.
Disarikan dari kajian Gus Baha (Dino. Turoichan)
Sumber : majalah Aula edisi Januari 2024