Saat Ada Ulama Mendekati Pintu Raja

Logika nubuwwah (kenabian) itu unik. Sebab itu, dengan logika nubuwwah itu, jalan kiamat akan terkecukupi di hari kiamat. Misalnya, saat saya mondok di Sarang itu sudah membantu mengajar, sekarang saya sudah agak mapan dan punya uang, tapi saya tetap masih mengajar. Pokoknya, dalam pikiran saya itu mengajar berarti memberi penjelasan kepada umat.

Banyak juga santri senior zaman mondok suka membantu mengajar yang junior. Padahal tidak ada yang memberi gaji, tapi mereka tetap mengajar. Tapi, suatu ketika mereka selalu bingung, suatu ketika disuruh pidato (ceramah agama), diberi uang saku Rp1 juta. Pada hari kedua diberi uang saku Rp2 juta. Tapi kebetulan ceramah yang ketiga, diberi uang Rp1 juta. Sehingga dalam bayangannya, gaji dai (penceramah agama) itu Rp1 juta.

Suatu saat diundang oleh orang yang pelit, dan diberi uang saku hanya Rp200 ribu, lalu berujar, "Wah, tidak menghargai orang, biasanya dapat Rp1 juta, tapi ini malah dapat Rp200 ribu ya." Pikiran yang sisi manusiawi, jadi sah saja. Karena bukan nabi yang ma'shum, walaupun keliru tetap sah.

Yang patut dipertanyakan adalah saat bertahun-tahun membantu mengajar di pondok, padahal tidak dapat apa-apa, kok tidak ada yang protes? Ini sekarang, setelah sering dapat uang saku Rp1 juta, lalu saat hanya dapat Rp200 ribu, kenapa dipermasalahkan? Mestinya kalau dia orang yang waras, maka cara berpikirnya tidak begitu.

Seharusnya cara berpikirnya nubuwwah. "Kemarin dapat uang Rp1 juta, berarti hisabku tambah Rp1 juta. Kemarin Rp1 juta dan sekarang hanya Rp200 ribu. Alhamdulillah, hisabku berarti menjadi Rp200 ribu." Jadi semua uang yang kita peroleh ada hisab yang akan kita pertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Tapi berhubung tidak punya otak nubuwwah, maunya punya Rp1 juta itu sedikit, yang Rp200 ribu banyak. Kalau dia itu punya otak nubuwwah, Rp1 juta itu hisabnya banyak, Rp200 ribu itu hisabnya sedikit. Kalau tidak ada uang saku, maka tidak ada hisab sama sekali.

Saya termasuk kiai yang masih punya otak nubuwwah, makanya saya itu masih waras, dan selalu berusaha jadi orang waras. Sebab itu, kalau diberi zakat mal oleh mustahiq Al-Anwar, saya hadiahi. Karena itu obatnya ulama. Sebagai santri, kita harus melatih diri dengan logika nubuwwah.

Kalau kamu jadi kiai yang sering pidato, dan diberi amplop, maka harus kamu terima sebagai rezeki yang halal. Tapi, kamu harus punya logika nubuwwah, sehingga ketika diberi uang Rp1 juta, "Aduh hisabku berat ini." Dan, ketika diberi uang saku Rp300 ribu, "Alhamdulillah, hisabku berkurang." Dan ketika ada yang tidak memberi sama sekali, "Alhamdulillah, tidak ada hisab untukku."

Sehingga dengan begitu kamu tidak terprovokasi atau didikte oleh uang. Tapi kalau di dalam otakmu itu hanya uang (kapitalis), "Orang kampung di sini tidak menghargai para kiai, pelit-pelit semua."

Lalu, kalau Tuhan bertanya kepadamu bagaimana? "Orang kok bodoh sampai begitu. Dihisab kok minta yang banyak. Padahal dia tidak pernah ngaji, harta Anda itu miliknya banyak. Makanya perbanyaklah sedekah supaya mengurangi hisab."

Lho, yang mengaji orang percaya hisab itu kan dai (pendakwah), setelah tahu kalau punya uang itu dihisab, malah berharap uang saku yang banyak. Itu bodoh apa tidak?

Jadi, kalau kamu sering diberi uang senang, maka maknanya hisab. Ini ada karena punya uang banyak. Kita itu sudah terlanjur punya keyakinan, kalau ada uang itu ada hisab atau laporan pertanggung jawaban.

Berpikir begini, dengan uang itu maka hisabnya tambah besar. Kalau sedekah, mengurangi hisab. Nah, itu logika nubuwwah yang harus kita latih. Makanya saya itu tidak terlalu mau tahu tentang uang banyak dan sedikit, karena saya anggap sama saja, sebab sama-sama akan hisab.

Sebab, bagaimana pun juga nanti itu kita kembali lagi ke Tuhan, dan sudah pasti akan dihisab. Makanya dianjurkan berdoa:

رَبِّ خَاسَبَنِي حِسَابًا يَسِيْرًا

"Ya Tuhan, hisablah kami kelak di akhirat dengan hisab yang mudah (ringan)."

Kalau mau dihisab dengan mudah, berarti salam tempelnya tidak terlalu banyak, jadi harus sedikit. Makanya saya itu termasuk kiai yang susah disuruh ceramah di pengajian umum, sebab ada yang mengamplopi. Katanya kalau ceramah full day, sehari bisa bayar mobil Innova. Perhitungan seperti itu tidak masalah, sebab itu rezeki, tapi kamu harus tahu, kalau itu semua ada hisabnya.

Jadi, saya itu sering diundang di kabupaten, tapi saya tidak datang. Ya, pernah datang tapi jarang. Tapi kalau ada orang desa di atas gunung mengundang saya, pasti datang. Ada yang bertanya, "Gus, Anda diundang di kota kok tidak datang, tapi di desa terpencil ini malah datang?"

Karena kalau di kota tahu isinya nabui ulama, sebab dengan begitu hisabku agar mudah. Kalau di desa saya mungkin hanya dapat singkong doang. Tapi saya merasa senang saja. Masak singkong 1 kilo gram saja mau dihisab. Kalau makanannya kremeng-hisab, rasanya saya malu kala. Hahahaa.

Tapi terkadang saya juga datang kalau diundang di kabupaten, tapi jarang. Sebab kalau tidak datang sama sekali, nanti ada kesan sombong. Kalau sombong itu suatu kejelekan. Kalau datang terus-menerus, nanti seperti jadi pekerjaan. Pokoknya, posisinya tengah-tengah, jadi hidup itu jangan berlebihan, biasa saja.

Makanya Rasulullah itu, jadi nabi itu hebat (beruntung) terus, sampai ada setelah Fathu Makkah, nabi tidak pernah makan berlebihan. Makanya putri nabi, Sayyidah Fatimah, dan istri-istrinya pernah bertanya: "Wahai Rasulullah, kita dulu itu miskin dan sahabat juga belum Anda kaya, seharusnya kita hidup mapan."

Tapi nabi menjawab, "Aku jadi nabi itu tentang akhirat, jadi tidak ada pengaruh dengan mapan atau tidak."

Sayyidah Fatimah pun paham akan hal tersebut, maka beliau tidak lagi meminta kepada nabi lagi. Tapi diam saja. Sehingga ketika nabi jadi tokoh yang top, Sayyidah Fatimah masih jadi orang lugu saja.

Kalau sekarang anak-anak kiai, seorang anak dari kiai besar membuat rumah sendiri. Mungkin banyak yang tidak mau. Anak saya mau itu, sebab terkadang saya paksa. Tapi saya latih sungguhan, karena buat pengingat, bahwa derajat yang terpenting adalah derajat akhirat. Makanya itu lebih serius hidup itu.

Ya itu, namanya tirakat nubuwwah, makanya Rasulullah SAW setelah peristiwa Fathu Makkah tidak ada pengaruh dalam cara hidupnya. Karena beliau melihat dalam tirakat nubuwwah, berhasilnya bukan melihat sebagai tempat mendapatkan sesuatu apalagi harta kekayaan.

Makanya saya punya guru yang berkata begini, "Kalau ada kiai alim jangan santri, karena santri itu lebih keramat dari kiai."

Tidak tahu bagaimana coba, kiai kalau zaman jadi santri ikut naik ke atas rental pidato, kamu bisa mencium tangannya itu senang sekali. "Alhamdulillah, sudah bisa mencium tangan kiai." Senang sekali, tapi ketika kamu jadi kiai yang pintar pidato, orang itu kamu anggap jadi sainganmu.

Berarti, saat kamu jadi santri bodoh masih ikhlas. Tapi ketika jadi kiai, kamu sudah tidak terlalu benar. Dulu ketika kamu mencium tangannya dengan ikhlas, tapi ketika kamu jadi kiai, dai lain kamu anggap jadi saingan. Dulu ikhlas, tapi sekarang menuruti apa yang orang sukai. Kok bisa?

Iya, ketika kamu jadi santri, walau tambah pintar. Ketika zaman jadi santri, walaupun masih bodoh, tapi paling ikhlas. Tapi ketika jadi kiai pintar malah tidak ikhlas.

Makanya jangan sampai kamu berani dengan santri, sebab bagaimanapun juga nasib kamu itu lebih baik dari pada kiai. Makanya saya lebih takut dengan santri daripada dengan kiai.

Syekh Nawawi Banten itu orang paling alim di Jawa, pengarang kitab Tafsir Munir. Beliau kalau berfatwa kadang kacau (tidak masuk akal), tapi kalau kacauya orang alim itu tetap benar. Dan terkadang saya juga tidak cocok, tapi karena beliau orang alim, jadi kita ikuti saja. Beliau menafsirkan ayat:

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ ءَانَاءَ الَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُوا رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakhlak yang dapat menerima pelajaran (QS. Az-Zumar: 9)."

Itu kenapa para kiai derajatnya lebih tinggi daripada yang tidak terpelajar. Orang pintar itu derajatnya lebih tinggi daripada orang yang tidak pintar. Walaupun yang tidak pintar itu pejabat. Syekh Nawawi pernah ngomong begitu.

Suatu saat beliau diprotes, "Tapi kenapa saya sering melihat para ulama mengantri di pintu raja, sementara saya tidak pernah melihat para raja antri di pintu ulama ?"

Raja itu kalau mengundang kiai, lalu langsung 100 orang kiai. Para kiai lalu mengantri salam tempel pada akhir tahun. Kalau selamat dapat, kalau tidak THR kalau akhir Ramadhan.

Syeikh Nawawi menjawab dengan contoh versi wali, "Karena ada ulama itu pintar, sebab dia fungsinya uang. Makanya mencari uang di kerajaan. Dan raja itu bodoh, karena tidak tahu fungsinya ilmu, makanya tidak mau datang ke ulama."

Artinya kalau ada ulama mendekati raja, itu bukan aib, sebab tahu fungsinya uang. Dan raja itu bodoh, sebab dia tidak tahu fungsinya ilmu. Makanya mereka tidak mau datang kepada ulama.

Menurut Syekh Nawawi, kalau ada kiai yang datang ke kabupaten itu tidak masalah. Karena jika itu fitnah, karena tahu fungsinya uang. Nabi itu sering bertanya tapi kok tidak mau sowan ulama? Karena dia bodoh, sebab tidak tahu fungsinya ilmu.

Menurutnya, kalau ada ulama yang mengantri di rumah raja itu karena hal berikut:

سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sebab ulama tahu manfaatnya uang (harta). Lho kenapa raja tidak antri pada alama?

لِأَنَّهُمْ جَهِلَ مَنْفَعَةَ الْعِلْمِ

Karena mereka tidak tahu ilmu manfaat dari ilmu.

Terkadang meminta pada orang kaya itu boleh. Nabi itu memang pernah berpesan: "Kamu jangan sampai meminta uang dengan paksa." Tapi terkadang, nabi juga meminta kepada Abu Bakar dan orang-orang tertentu.

Jadi yang mau menjelaskan tentang hadis ini agak bingung, "Bagaimana nabi itu, kok tidak konsisten." Terkadang nabi itu melarang untuk meminta, tapi terkadang nabi itu meminta pada Abu Bakar.

Jadi sebenarnya, fungsi meminta itu supaya temanmu melakukan kebaikan. Kalau tidak diminta, maka tidak akan tahu pentingnya melakukan kebaikan. Makanya orang kaya itu kadang ada yang aneh. Kalau diminta kasihan oleh kiai itu merasa risih. Tapi kalau tidak diminta atau memintai bantuan kiai, pasti lupa atau pura-pura lupa.

Misalnya, kamu punya teman yang kaya, kalau kamu tidak pernah minta apa-apa, pasti tidak akan diberi sungguhan. Tapi kalau meminta dia mungkin merasa risih. Akhirnya bisa pakai bahasa meminjam atau meminta bantuan. Dia pun lalu memberi bukan meminjamkan. Tapi kalau kamu tidak meminta, maka tidak akan diberi. Jadi kan susah.

Kalau begitu, itu kamu harus bagaimana? Ya meminta. Terkadang meminta, tapi jangan lalu terus-terusan. Makanya disebut :

Berdasarkan pemeriksaan ulang gambar yang Anda berikan, teks Arab yang diekstrak adalah sebagai berikut[1]:

سُؤَالُ الصَّالِحِينَ إِعَانَةٌ لَّكُمْ فِي الْخَيْرَاتِ

Kalau orang saleh itu meminta bantuan, berarti dia mengajak kamu untuk sama-sama melakukan kebaikan.

Misalnya, ada orang saleh, seumpama nabi atau ulama meminta bantuan dengan orang kaya, paling uangnya digunakan untuk dibuat masjid atau pondok, atau untuk hal-hal yang baik. Jadi, tetap dibuat untuk kebaikan.

Sebab orang kaya kalau tidak diminta atau diingatkan, pasti tidak akan memberi beneran. Tapi kalau sering meminta, itu tidak boleh. Sebab ciri khas orang baik itu tidak pernah meminta. Itulah namanya ilmu.

Pokoknya kamu jangan sampai kamu membayangkan standar seorang manusia itu sempurna. Itu baru hebatnya kalau orang sekarang pasti belang-belang (punya kekurangan). Itu adalah sunnah manusia, pasti punya kesalahan.

Terus kalau kamu memberi syarat ideal, berarti kamu khawarji, kalau begitu Islam itu Islam dalam bahaya. Karena kita tahu orang-orang baik di dunia itu tidak pernah ngaji dan mondok, menjadi tidak pernah jadi dai (pendakwah), karena merasa diri punya masa lalu yang kurang baik ( aib ). Padahal semua orang pasti pernah dosa.

Berarti pada kebaikan (orang-orang yang baik) itu tidak meminta apa pun. Tapi dalam keburukan (orang ahli maksiat) harus ada dai. Anehnya, ada yang mensyaratkan kalau dai itu berdakwah di tempat keburukan (maksiat), tidak perlu ada izin dahulu.

Disarikan dari kajian dalam ceramah Gus Baha' (Dino Turoihan)

Sumber : majalah Aula edisi Maret 2024