Meraih Pahala Dengan Monitoring Syahwat

Dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha'illah As-Sakandary disebutkan :

مَنِ اسْتَغْرَبَ أَنْ يُنْقِذَهُ اللهُ مِنْ شَهْوَتِهِ وَأَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ وُجُوْدِ غَفْلَتِهِ فَقَدِ اسْتَعْجَزَ الْقُدْرَةَ الْإِلَهِيَّةَ وَكَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا

"Barangsiapa merasa tidak mungkin dapat diselamatkan oleh Allah dari pengaruh hawa nafsu syahwatnya atau dihindarkan dari kelalaiannya, maka berarti ia telah menganggap lemah qudrat Ilahi (kekuasaan Allah). Padahal Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Di sini akan saya ajarkan caranya, metode ini saya dapat dari Sayyidina Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu. Misalnya kamu melihat wanita cantik kan membuat muncul syahwat, melihat janda cantik menjadi syahwat.

Kalau menurut Sayyidina Umar: "Biarkan saja syahwatmu, yang penting kamu tidak zina. Justru jika kamu punya syahwat tapi berhasil tidak berbuat zina, maka menjadi bernilai karena meninggalkan larangan karena Allah."

Karena Allah tidak menulis pahala meninggalkan zina, jika kamu tidak zina dengan kerbau dan sapi, karena kamu tidak punya syahwat padanya. Tapi akan ditulis pahala karena kamu punya syahwat pada wanita, tapi kamu tidak berbuat zina.

Saat ditanya: “Apakah Anda pernah terlintas ingin zina dengan para perempun itu?” Sayyidina Umar menjawab: “Iya, terlintas.”

Apakah kamu ingin menghilangkan syahwatmu? “Tidak. Aku ingin masih punya syahwat, tapi tidak berbuat maksiat.”

Bukankah Anda berdoa, supaya syahwat itu dihilangkan? “Tidak, karena nanti saya tidak ditulis dapat pahala. Biarkan syahwatku masih ada, tapi aku tidak melakukan zina,” jadi syahwat itu bisa dikelola, dan sebagai pengingat bahwa kamu adalah manusia.

Uang juga demikian, kamu kalau melihat uang, matamu menjadi hijau. Tapi sekarang uang besar itu warnanya merah, maka jadi merah. Dulu uang itu warnanya hijau jadi kalau melihatnya matanya jadi hijau. Kata seorang Kiai: “Tidak Mbah, sekarang warnanya merah, karena uang Rp100 ribu sekarang itu merah.” Hahaa.

Jadi boleh syahwat sebagai pengingat kalau kamu itu manusia, tapi tetap harus kau kalahkan agar selamat. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Hikam, Orang yang beranggapan tidak mungkin selamat dari syahwat, berarti sama saja menganggap Allah itu lemah. Caranya bagaimana, Gus?

Sebenarnya gampang, kalau menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, menurut saya cara berpikir yang dijelaskan lebih rasional. Beliau rasional, hidupmu kamu anggap tidak mungkin selamat, karena dalam pikiranmu punya bayangan waktu (hidup) yang durasinya panjang.

Misalnya, sekarang saya berusia 44 tahun, saya menganggap umurku sampai 64 tahun. Sehingga dalam bayanganku, tak mungkin aku lepas dari syahwat, karena durasi waktu sekian panjang, dalam hidupku masih sisa 10 tahun lebih.

Tapi jika kamu yakin selamat dari syahwat, sepertinya agak suci. Itu boleh jika demi Allah, tapi bisa-bisa itu uji. Bisa juga kamu mati, jadi ya orang yang menganggap tidak mungkin selamat dari syahwatnya itu disebabkan membayangkan hidupnya masih panjang.

Misalnya, “Pilan setelah ngaji mati, berarti kan selamat dari maksiat. Dan setiap saat kita itu mungkin bisa saja mati. Jika kita mati (dalam keadaan taat), berarti selamat dari maksiat atau syahwat.”

Misalkan begini, ada orang jam tujuh berzina. Ya Allah selamatkan saya dari syahwat. Jika membayangkan 10 tahun ke depan, ya berat. Atau membayangkan 20 tahun ke depan kan berat. Paham yang saya maksud.

Makanya dalam Al-Hikam juga adanya pernyataan begini: “Jika kamu pernah maksiat, maka yakinlah itu adalah maksiat yang terakhir, supaya kamu husnuzhan kepada Allah[1].”

Caranya bagaimana? Bisa saja besok kamu mati, dan itu sebagai maksiat terakhir. Makanya segeralah melakukan ketaatan, karena bisa saja itu ketaatan yang terakhir.

Kalau kita tidak, orang saleh, tapi membayangkan maksiat itu jangka panjang. Masak ya orang bisa saleh dari subuh sampai isya. Aduh, 24 tahun melihat wanita cantik, nangis, masak tidak muncul syahwat? Itu namanya orang saleh amatiran.

Orang saleh kok membayangkan hidup panjang, kalau orang yang saleh betul itu :

وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا

"Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi."

Jadi jika pagi jangan membayangkan sampai sore. Kalau sore jangan membayangkan sampai pagi, jadi hidup itu sebentar. Makanya saya merasa kaya, saya sering bilang kepada istri saya, “Aku itu orang yang kaya betul, ya Dik.” Kok bisa? Aku sekarang punya uang Rp200 ribu. Lha orang hidup sehari itu lesa, kok, punya uang Rp200 ribu, dan punya beras 10 kilogram lagi. Ya sudah kaya sekali!”

Kalau kamu membayangkan hidup buat 10 tahun? Aku ini orang alim, jangan dilatih jadi bodoh, aku kan hidup tak hitung per hari. Kalau aku bisa hidup per hari, ya per bulan. Ilmu seperti ini memang tidak populer, tapi harus dilatih.

رُبَّمَا وَرَدَتِ الظُّلَمُ عَلَيْكَ لِيُعَرِّفَكَ قَدْرَ مَا هُوَ بِهِ عَلَيْكَ

"Adakalanya kegelapan (dosa, maksiat atau syahwat) datang kepadamu untuk mengingatkan anugerah Allah atas dirimu."

Terkadang wali itu tahu rasanya kegelapan (dosa, syahwat, pacaran dan sebagainya), sebagai pengingat bahwa nikmat Allah itu banyak.

Maksudnya begini, misalnya ada wali papat (wali empat), seperti Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, wali cap-capan atas, terkadang melihat wanita cantik ya muncul syahwat betul. Berarti adanya syahwat dalam dirimu itu (tidak menggambar syahwat), itu menunjukkan nikmat Allah SWT yang luar biasa.

Makanya orang itu harus mengingat prestasi jangan terlalu larut dengan hanya ingat-ingat kesalahan. Bagaimana juga prestasi yang sudah pernah terjadi, kita pernah diselamatkan Allah begini dan begitu.

Walaupun pernah melakukan kesalahan, tapi jumlah kebaikanmu masih lebih banyak dari kesalahanmu. Jadi orang disuruh mengingat-ingat nikmat-nikmat Allah.

Misalnya ada orang yang pernah melakukan dosa besar, entah dua atau tiga kali, tapi dia diberi takdir bisa shalat lima waktu, bertahun-tahun dia shalat lima waktu. Lima waktu setahun kan sudah ribuan kali. Sementara dia melakukan dosa besar, masih bisa dihitung dengan jari. Tapi bukan berarti membolehkan dosa, tapi niat bersepakat rileks (bisa berbuat baik) itu lebih banyak daripada meleset yang pernah dilakukan. Ini cara berpikir yang dimaksud dalam kitab Al-Hikam.

Terkadang kamu melakukan kesalahan, tapi justru karena kesalahan itu, menghilangkan takabur nikmat yang diberikan kepadamu. Maksudnya ketika seorang wali shalat-shalat, itu sebagai pengingat bahwa dia manusia. Kesalahannya bisa dihitung dengan jari sedang kebaikannya sudah tidak bisa dihitung lagi. Maka berlogikalah jadi sebagai mana cara berpikir Al-Hikam.

Kalau orang fikih mungkin justru khawatir jangan-jangan ini dianggap menyepelekan dosa. Kalau menurut orang hakikat malah kebalikannya, orang ingat dosanya terus itu jangan-jangan menjadikannya putus asa dari rahmat Allah.

Dalam kitab Risalah Qusyairiyah diceritakan: Abul Qasim Al-Junaidi pernah didatangi seorang pemuda mantan pemabok, mantan tukang nakal, setelah itu belajar alim datang bertanya pada Abul Qasim: "Apa yang dinamakan taubat?” Ia pun menjawab sesuai syariat: “Kamu tidak mengulangi dosamu.”

Pemuda tadi tertinggal lalu bilang: “Kalau menurutku, yang namanya taubat itu lupa dengan dosa-dosa yang sudah lewat.” Walhasil, pemuda tersebut pergi.

Suatu saat Abul Qasim Al-Junaidi bertemu temannya yang juga sudah maqam hakikat dan berkata: "Aku merasa dosa kepada Allah, karena menasihati pemuda yang sudah jadi wali". Sekarang saya akan memberi pernyataan: “Yang dinamakan taubat adalah melupakan dosa.”

فَإِنَّ الذِّكْرَ الْخَفَاءَ جُنَّانُ الصَّفَاءِ الْجَفَاءَ

"Karena ketika ingat kesalahan, ketika sudah nyaman dengan Allah, itu menjadikan tidak nyaman."

Jadi misalnya begini: Ada mantan preman, dia itu mantan mencuri dan mabuk, kemudian diberi hidayah taubat lalu menjadi imam masjid. Sudah asyik sama Allah, “Alhamdulillah diberi taubat, sekarang aku jadi imam masjid dan jadi pengurus masjid.”

Saat sudah asyik dan nyaman dengan Allah, malah kamu ingatan dosanya lagi, nanti bisa jadi goyah lagi. “Aku gak layak jadi imam, masak tak taruh di masjid. Aku kan pernah nakal, maka pantasnya di terminal atau di perempatan.” Kan malah repot, paham ya. Jadi terkadang geer itu lebih baik.

Kalau mau dibandingkan: Ada mantan preman, pernah mabuk dan lain sebagainya. Lalu diberi taubat oleh Allah, walhasil sampai masyarakat lupa, dan jadi imam masjid. Kalau dia selalu ingat dosanya terus di masa lalu, kemungkinan buruk dia bisa kembali ke masa lalu. Lalu membuat masa bodoh pantas jadi imam, dari awal ada di masjid, nanti lama-lama datang ke terminal lagi.

Tapi kalau terlalu over hingga lupa dengan dosanya, nanti malah bisa jadi ujub (sombong). Seakan-akan tak punya masa lalu yang suram atau tidak baik.

Makanya dalam Al-Hikam juga disebutkan:

مَعْصِيَةٌ أَوْرَثَتْ ذُلاً وَافْتِقَارًا خَيْرٌ مِنْ طَاعَةٍ أَوْرَثَتْ عِزًّا وَاسْتِكْبَارًا

"Orang yang pernah maksiat, tapi mengingat kemaksiatannya itu membuatnya tawadhu' dengan orang lain. Itu lebih baik daripada melakukan tapi, tapi banyak komentar terhadap masa lalu atau keburukan orang lain.”

Makanya inilah pentingnya ngaji, jika orang terlalu ingat maksiatnya, jangan-jangan nanti merasa tak pantas merawat masjid atau jadi kiai. Nanti malah jadi repot bisa kembali ke masa lalu. Tapi jika terlalu lupa bisa membuat ujub.

Disarikan dari kajian dan ceramah Gus Baha'uddin (Dino Turoichan)

Sumber : majalah Aula edisi Maret 2025