Menyingkapi Polemik Tentang Dzurriyah Rasulullah

Alkisah, ada seorang sayyid yang alim allamah tapi secara fisik tidak meyakinkan. Beliau yang alim allamah masih diragukan nasabnya yang sampai ke Rasulullah SAW. Maka sayyid yang alim allamah menantang, "Pokoknya kalau para habaib tidak percaya saya, ayo kita sowan kepada Rasulullah."

Lalu mereka pergi ke Madinah, dan semuanya bermimpi bertemu dengan Baginda Nabi, dan bertanya kepada Nabi, "Apa benar ini cucu engkau, wahai Rasulullah?"

Rasulullah lalu menjawab, "Sekarang anak ini sudah bertemu kakeknya, sudah bertemu asal usulnya."

Nah, asal usul itu ada dua. Ada yang dari dzatnya karena ada sisi kemuliaan gen nabi (nasab) yang bersambung dari Sayyidina Hasan dan Husain, itu yang ada disebut Sayyid, Syarif atau Habib. Lalu ada dinasabkan (intisab) yang karena sebab, seperti ahli ilmu agama atau ahli amal ibadah yang meniru sunnah Rasulullah. Intisab yang karena sebab ini tentu jumlahnya lebih besar.

Makanya, Rasulullah pernah bersabda, "Salman minna ahla baitin (Salman bagian dari kami ahlul bait). Salman itu jelas bukan cucu atau anaknya nabi. Tapi karena perilakunya, ia diakui sebagai bagian dari keluarga nabi.

كُلُّ نَسَبٍ وَسَبَبٍ مُنْقَطِعٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا سَبَبِي وَنَسَبِي

Tiap-tiap nasab dan sebab (persaudaraan karena hubungan nikah) akan terputus kecuali sebabku dan nasabku.

Jadi, ada nasab karena ada gen yang bersambung pada nabi, dan ada yang dinasabkan (intisab) karena sebab perilaku (ilmu dan amal). Meniru nabi yang paling mudah itu jadi orang miskin yang sabar. Kalau meniru nabi, tapi shalat qabliyah dan ba'diyah saja tidak pernah, apalagi shalat tahajud? Jadi yang mudah itu menjadi fakir yang sabar, karena nabi pernah berdoa: 'ahyiini miskiinan wa amitnii miskiinan' (Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam kemiskinan).

Jadi ada hubungan nasab (intisab) yang karena sebab, seperti ulama yang menjadi warasatul anbiya' (pewaris nabi).

Maka akhirnya para habib yang bermimpi bertemu Rasulullah tadi berkata: "Ya Rasulullah, kalau nanti saya pulang setelah bertemu engkau, saya harus bilang apa?"

Lalu Nabi Muhammad menjawab:


فَقُوْلُوْا رَجَعْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ وَاجْتَمَعَ الْفَرْعُ وَالْأُصُوْلُ.

Katakanlah, kita kembali dengan membawa kebaikan, dan telah berkumpul dahan dan akarnya (cucu sudah bertemu kakeknya).

Lalu para habib menjawab:


لَوْلَاكَ يَا زِيْنَةَ الْوُجُوْدِ مَا طَابَ عَيْشِي وَلَا وُجُوْدِي، وَلَا تَرَنَّمْتُ فِي صَلَاتِي وَلَا رُكُوْعِي وَلَا سُجُوْدِي.

Jika tidak ada engkau, wahai dzat yang wujud menjadi perhiasan dunia, maka tidak akan bahagia hidup dan keberadaanku. Dan tidaklah akan ada nikmat beribadah melalui shalat, ruku', dan sujudku.

Nabi Muhammad merupakan perhiasan semua alam raya. Makanya kalian harus dengan rasa senang karena adanya Nabi Muhammad kemudian ketularan istri sampean. Nikmatilah sebagai umat Muhammad, jadi jangan mudah mengeluh. Sekarang kamu punya nikmat berupa uang, bisa makan enak, itu nikmat yang sepele. Nikmat tertinggi itu adalah adanya Baginda Nabi Muhammad SAW. Maksudnya ketika kita sudah memeluk Islam, berarti kita sudah punya nikmat tertinggi.

Andalkan tidak ada ajaran Rasulullah, kita juga tidak akan bisa menikmati shalat. Makanya shalat itu harus ada rasa nyaman, walaupun badan kita perih. Syarat ibadah itu harus nyaman atau yang dinamakan wajada halawatal iman (merasakan nikmatnya iman).

Kenapa shalat harus nyaman? Karena ketika kita bertemu Allah, kenangan terbaik kita di dunia adalah pernah shalat.

Ketika kita bertemu Allah di akhirat, lalu video rekaman kehidupan kita diputar saat sedang begadang, merokok, mengumpuli tidur ngorok (mendengkur), jadi kita merasa malu. Ketika ditanya Allah, "Kebaikanmu di dunia ternyata seperti itu!"

Tapi kalau rekaman yang diputar saat kamu sedang shalat dan menangis, atau kamu sedang berlari-lari untuk jamaah ke masjid, lalu di tikar kamu hanya dua menit, itu kan keren. Pasti kamu bilang kepada malaikat, "Tolong, video yang itu diulangi lagi ya!" Hahaahaa...

Jadi kenangan terbaik kita ketika bertemu Allah adalah ketika di dunia kita pernah shalat, makanya kalau kamu shalat yang serius.

Keturunan Nabi tapi Non Arab?
Beberapa riwayat mengatakan, bahwa setelah adanya Tragedi Karbala, ada dzurriyah (keturunan) Rasulullah SAW dari Sayyidina Husain merasa isyarat-isyarat tidak boleh menikah dengan syarifah (keturunan Arab), tapi menikah dengan orang Ajam (non Arab). Makanya banyak juga Sayyid yang wajahnya tidak kelihatan seperti orang Arab, ada yang hidung pesek, berwajah china dengan mata sipit, seperti Laksamana Cheng Ho. Saya pernah ditanya, "Apa mungkin Gus, itu dzurriyah rasul, tapi wajahnya kok China, matanya sipit?"

Dahulu setelah terjadinya Tragedi Karbala dan terbunuhnya Sayyidina Husain, banyak orang yang memburu dzurriyah Husain untuk dihabisi, karena takut nanti mereka balas dendam, melawan atau mengkudeta golongan yang berkuasa. Sejarah itu kan seperti film-film china. Sehingga untuk menyiasati itu banyak yang harus menikah dengan orang non Arab, biar fisik keturunannya berubah, ada yang hidung pesek, rambut keriting, pokoknya tidak kelihatan arabnya.

Sehingga banyak dzurriyah rasul yang sebetulnya secara konstruk wajah sudah tidak seperti dzurriyah rasul yang identik Arab. Padahal silsilahnya jelas sampai kepada Nabi SAW. Itu dulu bagian dari strategi menghindari dari pembantaian atau pembunuhan.

Hal itu juga diteruskan oleh para Wali Songo yang menyiarkan Islam di Nusantara, hingga kini menjadi mayoritas muslim terbesar di dunia. Mereka mau membaur dan menikah dengan pribumi (non Arab) dengan tujuan agar dakwahnya juga bisa membumi di bumi Nusantara. Banyak para ulama dan kiai yang berwajah Jawa atau non Arab tercatat mempunyai nasab yang bersambung pada para Wali Songo baik dari jalur laki-laki (bapak) maupun perempuan (ibu).

Tapi kamu jangan sampai mengingkari nasab dari ibu, karena nabi sendiri, yang berjasa besar itu keluarga dari ibu yaitu Bani Najjar. Nabi merasa lahir di komunitas ayahnya, tapi Islam tumbuh dan besar di komunitas ibunya hingga Nabi SAW wafat.

Maka dawuh Mbah Maimoen, jangan menyepelekan nasab dari ibu. Nasab yang resmi dan kuat memang dari bapak, tapi yang berjasa untuk nabi itu nasab dari ibu, nasab keluarga nabi yang dari bapak itu banyak yang mengingkari nabi, termasuk Abu Jahal dan Abu Lahab. Nasab dari bapak yang loyal dan iman pada Nabi hanya sedikit, seperti Abbas dan Hamzah. Dari sepupu ada Sayyidina Ali dan Ja'far, tapi yang mengingkari nabi hampir mayoritas Bani Qusaisy.

Begini hijrah, Nabi SAW dirawat keluarga dari ibu yaitu Bani Najjar itu skenario diciptakan Allah. Kemudian Allah membuat isyarat dengan wafatnya ayah Nabi di Madinah dan Islam juga menjadi besar dan berkembang setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Bahkan sebelum Hijrah, mayoritas Bani Najjar sudah mukmin. Walaupun pada akhirnya, Bani Quroisy juga banyak yang beriman, tapi itu sudah mendekati wafatnya nabi. Jadi secara birrul walidain, nabi sudah sempurna, lahirnya di keluarga bapak (Bani Quraisy) dan wafat di keluarga ibu (Bani Najjar).

Itu isyarat dari Allah, bahwa Allah tidak mau menghilangkan nasab dari ibu (perempuan), jadi dzurriyah nabi yang turun temurun hingga sekarang adalah dari pihak ibu (perempuan), yaitu Fathimah Az-Zahra putri Rasulullah SAW.

Saya itu jadi kiai sering dibantah sesama kiai, karena pernah bilang kalau jubahan itu tidak sunnah, sedangkan para kiai banyak yang jubahan, "kata Gus Baha, jubahan itu tidak sunnah, maksudnya bagaimana?"

Lalu saya jawab, "lho, menurutmu Abu Jahal dan Abu Lahab itu jubahan apa tidak? Yang jubahan itu bukan nabi saja. Kalau ada melihat film-film Arab kan begitu, yang berperan jahat atau baik sama-sama jubahan, karena itu memang pakaian adatnya. Nah, kalau shalat itu baru ciri khasnya nabi, karena Abu Jahal dan Abu Lahab tidak shalat. Jadi yang sunnah nabi ya shalat itu, kalau jubahan itu tidak sunnah."

Kalau ada orang Islam yang lugu, lalu dijahati orang jubahan, pasti berujar, "lho, jadi kiai kok jahat". Karena orangnya jubahan lalu dianggap ulama, coba kalau lihat film Arab, "Ada orang jubahan kok jahat begitu!"

Peristiwa dan tragedi fitnah yang terjadi dalam sejarah Islam itu jangan dikira semuanya berakibat buruk, makanya Allah berfirman dalam surat Al-Anbiya ayat 35:


وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

Kadang semua itu hanya ujian, dan akan berlaku secara baik-baik, tidak apa-apa, itu sudah jadi sunnah (takdir) Tuhan.

Jarang orang yang akhirnya mapan karena punya iman yang baik, karena mereka sering dimanjakan dan tidak pernah dimarahi sehingga menjadi cengeng dan lemah saat ada masalah. Tapi banyak yang disia-siakan keluarga akhirnya jadi orang yang kuat, mandiri dan kaya.

Kadang punya majikan jahat itu membawa barakah, itu karena kehendak Allah, tapi saya tidak mensyariatkan jahat lho ya. Banyak orang yang mandiri karena disinisi tetangga, mau hutang tidak dikasih karena tidak dipercaya. Kamu tak usah menentang hikmahnya Tuhan yang punya dunia ini.

Jadi dengki itu mungkin jadi syariat, tapi barakahnya kadang luar biasa. Sekarang ini banyak konsumen (pembeli), itu barakah dari orang dengki. Ada yang punya toko, tetangganya dengki buat toko juga, lalu semua bikin toko, akhirnya barang murah, karena banyak yang kompetisi (bersaing), dan yang untung ya konsumen.

Jadi kalau Allah sudah berkehendak, semua pasti ada hikmahnya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30:


إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

Jangan Terlalu Banggakan Nasab
Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin juz 3, Imam al-Ghazali pernah menyinggung adanya politik menyanjung dzurriyah (keturunan) nabi. Jadi kiai-kiai, orang Yahudi itu punya keyakinan, karena mereka keturunan nabi Ya'qub, sehingga merasa agama mereka itu benar dan kastanya paling tinggi.

Ada lagi contohnya seperti golongan Akhbariyyun (di Syiah Kufah) itu nakal (seenaknya sendiri), mereka mengklaim sebagai dzurriyah Rasul, mulai menggunakan hadits bahwa mereka pasti masuk surga. Kan ada hadits tentang ahlul bait, ternyata yang versi Syiah, malah lebih ekstrim lagi.

Imam al-Ghazali lalu menanggapi hal tersebut dengan ayat ini:


لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ

Bagian apa yang telah mereka usahakan dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. (QS. Al-Baqarah: 134)

Pada akhirnya yang penting di hadapan Allah itu amalmu dan kerjamu. Karena orang seperti itu tidak adil, barang yang menarak mereka yakini, tapi isinya nihil tidak ada iman, melainkan isinya menyuap manusia.

Misalkan, Anda punya hizib penolak santet, lalu punya asumsi disantet oleh si Fulan, padahal santetnya itu kan tidak kelihatan, padahal si Fulan santet beneran apa tidak. Tapi kamu GR( sombong ) kalau santetnya Fulan tidak ampuh karena kamu punya hizib penolak santet.

Begitu juga dengan surga. Kita kalau GR karena ikut tarekat itu atau GR merasa-merasa pasti masuk surga, GR karena dzurriyah rasul pasti masuk surga. Tapi kata Imam Ghazali, ketika abstrak itu difisikkan, kamu pasti tidak punya keyakinan begitu.

Contoh paling gampang begini. Kalau memang amal bapakmu bisa memberi manfaat buat kamu. Amal itu kan tak kelihatan (abstrak). Lalu amal tersebut diumpamakan seperti fisik makanan. Apabila bapakmu itu makan, jadi kamu juga akan merasakan kenyang?

Maka kata Imam Ghazali: jadi kamu tidak usah makan, cukup bapakmu saja yang makan, bener kan itu. Kalau yang fisik (real) masih tidak bisa diwarisi.

Jangan sampai kita itu tertipu hal yang tidak kelihatan (abstrak), walaupun bapaknya wali dan alim allamah, anaknya bisa saja bodoh, dan bisa bodoh beneran walau tidak disyariat. Kadang yang seperti ini tidak dipikir. Karena tidak kelihatan, hal yang tak kelihatan itu riskan menjadikan syirik.

Jadi menurut Imam Ghazali, kalau kelompok Akbariyyin meyakini bahwa dzurriyah rasul langsung masuk surga, berarti mereka hakim bagi tak kelihatan, dan itu dinamakan khayal (khayalan). Padahal jelas menurut Al-Qur'an dan hadits, seseorang bisa masuk surga itu belum tentu karena amal, tapi dengan rahmat Allah. Kita memang harus hormat kepada dzurriyah rasul, karena ada khithab (dalil). Tapi beda, hormat bukan berarti meyakini mereka masuk surga, karena itu berarti bertaruh akidah.

Anda meyakini bahwa tiap anaknya kiai pasti alim, itu keliru. Itu akibat kalau Anda wajib hormat itu khitab peradaban. Tapi kalau Anda punya keyakinan akidah tertentu bahwa si A atau B masuk surga, berarti mempertaruhkan akidah yang butuh dalil Al-Qur'an atau hadits.

Jadi kata Imam Ghazali, masalah kita yang khayal itu sudah pada titik terparah. Seperti orang Yahudi yang mengaku keturunan Nabi Ya'qub dan merasa paling benar, sampai meyakini mereka paling beneran saja, nanti disalahkan sosok nabi moyangnya. Itu pikiran orang Yahudi.

Artinya, khayalan kita kepada hal yang tidak kelihatan itu masih tinggi, ya paling gampang meyakini selamat karena jahal. Allah itu kan bener karena diridhai Allah, tapi itu adalah wilayah nyaman. Anda ketemu Allah ya nyaman.

Kalau ada orang yang bangga kepada nasabnya, itu keliru. Karena bukan dirinya sendiri yang memilih, kok bangga. Seseorang itu ditakdirkan menjadi anak dari kiai ini kiai itu, yang memilih dia sendiri atau takdir Tuhan? Takdir kok dibanggakan.

Makanya, saya ditakdirkan menjadi anaknya bapak, mengapa saya tidak memang tidak bangga pada nasab biasa saja. Anak saya itu kalau memanggil saya 'Bapak', makanya para tamu kadang bingung, kalau keluarga kiai itu biasanya dipanggil 'Abah'.

Kalau ada tamu datang, 'Abah apa ada di rumah?' Anak saya yang kecil menjawab, 'Abah itu siapa?' Haha, itu saking biasanya kalau memanggil saya 'bapak'.

Jadi biasa saja, karena wujud itu tidak


كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Segala keputusan menjadi wewenangnya, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (QS. Al-Qashash: 88)

Ini supaya diingatnya, makanya itu kemudian langit dan bumi semua itu diperuntukkan untuk jisim/jasad manusia. Nah, jinse manusia inilah yang memenuhi langit dan bumi, kalau rohaninya sudah kepada Allah.

Maksudnya memenuhi langat dan bumi itu begini, sekarang banyak bank dengan gedung-gedung yang bertingkat, itu karena untuk memenuhi kebutuhan orang, termasuk berhutang. Kalau ruh itu tidak butuh berhutang.

Allah membuat buah-buahan, karena manusia didesain (diciptakan) memiliki perut. Allah menciptakan bensin karena manusia senang jalan-jalan pakai mobil atau motor. Pokoknya Tuhan menuruti jisimnya manusia itu repot, jadi mesti menciptakan yang lain.

Karena manusia memakan tumbuhan dan buah-buahan, Allah harus membuat hujan supaya bumi subur, dan lain-lain. Makanya menurut Kitab al-Hikam, jisim manusia itu menyusahkan Tuhan. Sebenarnya yang punya urusan pada dunia adalah jisim kamu (manusia).

Disarikan dari ceramah dan kajian Gus Baha. (Dino Turoichan)

Sumber : majalah Aula edisi Juni 2024