Kenapa Ada Orang Bodoh Tapi Kaya ?
Dalam kitab suci Al-Qur'anul Karim, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِّنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ ۚ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ.
Apabila ditimpa bencana, manusia menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami memberikan nikmat sebagai anugerah Kami kepadanya, dia berkata, "Sesungguhnya aku diberikan (nikmat) itu hanyalah karena kepintaranku." Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. (QS. Az-Zumar: 49)
Manusia itu ketika diberi musibah jadi ingat Aku dan meminta pertolongan kepada-Ku. Ketika nikmat sebagai anugerah, dia berkata, "Sesungguhnya aku diberikan (nikmat) itu hanyalah karena kepintaran-ku." Padahal sebenarnya itu adalah fitnah, tapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.
Kata "nikmat" di sini diartikan dari kata "in'aamun" yang artinya, "ada sebuah anugerah dari Kami (Allah)." Imam Suyuthi menafsiri "ala ilmin" beliau memilih tafsir, "karena kepintaranku dari Allah, maka aku kaya karena kepintaranku."
"Fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ujian yang ditimpakan kepadanya. Allah memberikan ujian atau istidraj, yang kalau Kiai Jawa memaknainya dengan Ngelulu.
قَدْ قَالَهَا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sungguh, orang-orang yang sebelum mereka pun telah mengatakan hal itu. Maka, tidak berguna lagi bagi mereka apa yang selalu mereka usahakan. (QS. Az-Zumar: 50)
Sungguh orang-orang yang sebelum mereka pun telah mengatakan hal seperti itu, sebagaimana halnya Qarun.
Imam Suyuthi itu aneh-aneh dalam menafsiri. Maksudnya itu begini, misalnya kalau jadi pejabat, layak untuk jadi pejabat, karena memang Allah sudah tahu kamu yang paling layak. Kemudian kamu jadi kiai. Allah memilih kamu karena memang Allah tahu kalau kamu layak jadi kiai. Kalau menurut saya seperti mau menyebal, Allah itu masih bagus.
Sedangkan ada mufassir lain yang cara berpikir keilmuannya itu begini. Saya jadi pejabat, saya bisa kaya, misalnya dari dagang, karena saya menguasai ilmu dagang. Sehingga dia tidak menyandarkan nikmat pada Allah, tapi pada pengetahuannya.
Imam Suyuthi menafsirinya, "Aku jadi kaya begini karena Allah tahu bahwa akulah yang layak jadi kaya."
Akulah yang layak diundang berceramah, jadi ndaknya merasa berhak karena sudah pilihannya Allah. Tapi berbeda dengan pendapat banyak mufassir. Aku layak berceramah berkat membaca buku cara berceramah. Jadi tidak menyandarkan semuanya pada Allah. Karena Allah kasihan, jika kamu diberi kerjaan.
Makanya begitulah tafsir, Allah hanya berfirman "innamaa uutiituhu akaa ilmin". Sekarang saya tanya, "Kamu punya uang itu karena apa?" Karena tahu caranya mendapatkan uang. Entah dengan cara menipu atau merebut, itu masih bagus. Menyebut Allah itu tidak baik. Kalau menyebut Allah masih agak mending karena Allah tahu bahwa aku berhak. Begitulah penafsiran Imam Suyuthi. Kamu kan nggak pernah mikir sejauh itu, karena bukan mufassir.
Tapi kalau perbandingannya adalah Qarun yang jelas berkata:
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي
"Aku kaya karena aku punya ilmunya."
Qarun itu tidak menyebut Allah. Jadi tafsir Imam Suyuthi juga benar, karena beliau orang alim. Tapi jangan kamu anggap apa yang dikatakan Imam Suyuthi itu mewakili maknanya Al-Qur'an. Bagaimana pula itu hanya tafsir, hanya kamu juga boleh ikut tafsir yang lain. Kamu baca kitab tafsir lain, dan bisa pilih salah satunya, yang penting kamu paham.
Alhasil jika kamu mendapat nikmat, ingatlah semua itu dari Allah. Jangan pernah merasa berhak. Maksudnya, Allah memberi kamu nikmat itu lewat anugerah-Nya. Kalau kamu merasa berhak, itu salah. Misalnya kamu ceramah, lalu diberi uang. Wajar aku dikasih uang, karena aku habis ceramah.
Hanya saja bisa juga dibalik, karena sudah disebut shahibul fadhilah (pemilik keutamaan), mestinya tidak perlu diberi uang tidak apa-apa. Dapat gelar shahibul fadhilah itu sudah luar biasa. Berarti harusnya tidak perlu dapat uang, karena sudah dapat gelar shahibul fadhilah, shahibul karamah, dan lain-lain.
Kalau mengikuti logika, kan bisa saja berhak tidak dapat. Karena sudah dapat gelar shahibul fadhilah. Atau dibalik, "Justru karena dapat gelar shahibul fadhilah, maka layak dapat uang." Tapi ada yang membaliknya lagi, "Karena tulus ikhlas, maka layak dicoba." Itu kan mungkin semua.
Jadi kalau menurut saya, maksudnya dalam hal ini ikat mayoritas mufassir saja, yang menafsiri ala ilmin yaitu dari Qarun menyandarkan pada ilmunya. Sehingga semua pangkalnya pun meskinya disandarkan karena dia punya ilmu.
Tapi kalau masih mau menyebut Allah itu baik. Allah memberiku rezeki, karena Allah tahu aku layak. Menurut saya, dengan menyebut Allah saja itu sudah baik kok, karena kemanapun Allah itu sakral. Jadi menyebut nama-Nya saja sudah berkah. Karena dia masih menganggap Allah lah faktor utamanya.
Kecuali menyebut Allah hanya untuk bergaya, "Allah tahu aku lah yang layak," dan Allah tahu kalau aku layak, dst. Kalau seperti ini baru masalah. Bawa-bawa nama Allah untuk mengejek orang lain, padahal gelarnya apa saja? Shahibul fadhilah wal-karamah was-sa'adah, wah kepanjangan itu.
Padahal untuk dapat gelar S1 saja puluh jutaan. Gelar shahibul fadhilah habis uang berapa? Tidak bayar sama sekali. Ternyata nanti di akhirat tidak dipanggil shahibul fadhilah. Saya ingin dipanggil shahibul fadhilah, jadi di akhirat saja. Kalau di dunia gelar itu tak penting.
Sungguh orang-orang yang sebelum mereka pun telah mengatakan hal itu. Seperti Qarun dan kaumnya yang ridha terhadap ucapan itu. Maka tidak berguna lagi bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan.
فَأَصَابَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا ۚ وَالَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْ هَٰؤُلَاءِ سَيُصِيبُهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَمَا هُم بِمُعْجِزِينَ.
Lalu, mereka ditimpa (bencana akibat) keburukan-keburukan yang mereka perbuat. Orang-orang yang zalim di antara mereka juga akan ditimpa (bencana akibat) keburukan-keburukan yang mereka perbuat dan mereka tidak dapat melepaskan diri (dari-Nya). (QS. Az-Zumar: 51)
Lalu mereka ditimpa (bencana akibat) keburukan-keburukan yang mereka perbuat, dan orang-orang zalim di antara mereka yaitu kaum kafir quraisy.
Di antara contoh saya itu, ialah bencana-bencana yang melekat mereka (kafir quraisy) selama tujuh tahun dan tidak dapat melepaskan diri darinya. Jadi, karena pernah melawan Rasulullah SAW, akhirnya kaum kafir quraisy mendapatkan balasan berupa kelaparan, angin dan kekurangan pangan selama tujuh tahun. Pemuka-pemuka mereka terbunuh dan ditawan pada waktu Perang Badar.
Bahkan masyhur diceritakan bahwa karena bencana tersebut, orang Arab yang sombong itu sampai makan tulang, akibat kekurangan yang melanda selama 7 tahun. Semiskin-miskinnya orang Jawa saja masih bisa makan pecel atau gaplek, ini mereka makan tulang.
Bencana tersebut terjadi, karena Nabi SAW yang sangat marah atas kezaliman kaum kafir quraisy, hingga akhirnya berdoa.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ
"Ya Allah, berikanlah mereka cobaan bertahun-tahun seperti cobaan bertahun-tahun yang dialami kaum Nabi Yusuf."
أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki)? Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman. (QS. Az-Zumar: 52)
Nabi diketahuinya bahwa Dia kuasa untuk melapangkan dan menyempitkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, untuk menguji keimanan hamba-Nya. Hal tersebut merupakan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Dalam sebuah hadits qudsi yang terdapat dalam kitab Al-Mustathraf fi kulli fannin mustadzrafin' dikatakan: Nabi Musa pernah ditanya oleh Allah. Nabi Musa merupakan salah satu rasul ulul azmi yang terkenal bisa berkomunikasi dengan Allah. Jadi Allah mengajak bicara Nabi Musa, sehingga diberi gelar "Kalimullah".
Jadi Nabi Musa pernah ditanya oleh Allah SWT: "Tahukah kamu kenapa Aku memberikan rezeki pada ahmaq (orang bodoh)?" Kemudian Nabi Musa AS berkata: "Tidak, Tuhanku." Kemudian Allah SWT berfirman: "Agar hamba orang yang berakal mengetahui bahwa turunnya rezeki bukan hal yang direkayasa."
Maksud dari ahmaq (orang bodoh) itu dia bukan orang yang pintar agama (alim), tidak bisa ngaji, tidak hafal Alfiah, tidak shalat dhuha, dan bukan pula pakar ekonomi. Tapi nyatanya ahmaq (orang bodoh) juga bisa jadi kaya. Bahkan ada profesor ekonomi malah jadi pegawainya orang yang tidak lulus SD. Kan ada orang yang tidak lulus SD punya pabrik besar, pegawainya itu doktor-doktor ekonomi.
Banyak yang punya Pondok Al-Qur'an tapi tidak hafal Al-Qur'an. Bukan kiai tapi punya pondok, kemudian menyewa kiai. Banyak sekali contohnya. Orang yang disuruh-suruh mampu, menyewa orang alim yang disuruh-suruh. Tidak bisa pidato, menyewa tukang pidato. Banyak khan orang-orang kaya yang begitu.
Tidak bisa menasehati dirinya sendiri, lalu menyewa konsultan atau psikolog. "Anda bayar saya, tolong nasehati dan carikan saya solusi atau pencerahan."
Nah, firman Allah kadang lucu, agar orang tahu rezeki itu datang dariku, bukan atas kepintarannya saja. Makanya sampai kapan pun, akan selalu ada contoh orang bodoh tapi kaya. Maka kalau ingin kaya, jadilah orang bodoh. Barangkali bisa jadi percontohan. Hahaha.
Agar orang tahu kalau manusia dapat rezeki itu karena anugerah Allah. Bukan karena ikhtiar dan kemampuannya. Seandainya itu berkat kemampuannya, seharusnya yang paling kaya itu adalah pakar dagang atau profesor ekonomi. Tapi terkadang orang yang bukan profesor ekonomi juga bisa kaya.
مَا شَاءَ اللَّهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ
"Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak di kehendaki tidak terjadi."
Nabi sekaligus Raja paling kaya di dunia, Nabi Sulaiman AS berkata dan diabadikan dalam Al-Qur'an:
هَٰذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ.
"Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau berbuat kufur. Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Siapa yang berbuat kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia." (QS. An-Naml: 40).
Diartikan dari kajian dan ceramah Gas Baha. (Dino Turcichon)
Sumber : majalau Aula edisi November 2024