Ikhlas Beramal dan Tawakkal, Jangan Demo Tuhan dengan Doamu

Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan akhirnya akan kembali kepada Allah.
Makanya mulai saat ini ketika beramal dan beribadah tidak perlu ada rivalitas. Karena apa yang kita miliki di dunia hakikatnya adanya milik Allah yang diamanahkan kepada kita (manusia) sebagai khalifah di muka bumi ini.

Kalau ada yang mengatakan, “ini uangku, ini hartaku,” itu semua tidak ada maknanya. Asal bicara ngelantur saja, lama-lama juga lupa sendiri. Karena secara bahasa manusia, uang yang ada di kantong saya memang uang saya. Secara bahasa manusia, rumah yang saya tempati adalah rumahku. Sehingga sah jika dikatakan, "ini rumahku, ini uangku. Lalu saya berikan untuk masjid."

Kalau niatmu seperti itu berarti sah, karena kamu memiliki berdasarkan hukum manusia bukan berdasarkan hukum Allah SWT. Jadi kamu sekarang ketika beramal, “Gus, uangku saya berikan pada Anda karena Allah.” Ini bahasa manusia. Berhubung uang ini “punya saya”, maka istilahnya “punya saya”. Tapi di hatimu harus yakin bahwa itu hanya istilah manusia.

Hakikatnya kita, harta kita, hidayah kita, prestasi kita, dan semua yang kita miliki, semuanya milik Allah Tuhan semesta alam. Seperti ayat Al-Qur’an yang selalu kita baca dalam shalat:

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)

Tiada sekutu (tandingan) bagi Allah. Kalau Anda katakan, Anda punya uang miliaran berarti (seakan-akan) Anda tandingan bagi Tuhan. Padahal ayatnya jelas dalam Al-Qur’an:


وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

"Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi dan hanya kepada Allahlah kembali-nya (seluruh makhluk).” (QS. An-Nur: 42)

Tuhan itu memiliki langit bumi dan seisinya. Kok kamu merasa, “ini tanah Papua milikku, HPH milikku, ini uang milikku.” Padahal dalam Al-Qur’an semua yang di bumi dan langit milik Allah. Kok bisa jadi milikmu, yang ngatur milik siapa?

Kalau Anda sampai yakin punya tanah, padahal secara hukum Allah tanah itu milik Allah, berarti kamu menjadi tandingan bagi Allah. Padahal Allah itu Laa syariika lah (tiada sekutu/tandingan bagi Allah).

Meyakini hal ini paling sulit, namun jangan dipersulit, biasa saja, teruslah biasakan! Lama-lama juga lupa. Terus-lah beramal baik, nanti lama-lama lupa sendiri (tidak memikirkan harta dunia).

Makanya untuk membombardir manusia agar berhati ikhlas, Ibnu Athaillah menyebutkan dalam Kitab Al-Hikam:

عِنَايَتُهُ فِيْكَ لَا لِشَيْءٍ مِنْكَ وَأَيْنَ كُنْتَ حِيْنَ وَاجَهَتْكَ عِنَايَتُهُ وَقَابَلَتْكَ رِعَايَتُهُ
لَمْ يَكُنْ فِي أَزَلِهِ إِخْلَاصُ أَعْمَالٍ وَلَا وُجُوْدُ أَحْوَالٍ بَلْ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ إِلَّا مَحْضُ الْإِفْضَالِ وَعَظِيْمُ النَّوَالِ.

“Perhatian Allah kepadamu bukan karena sesuatu yang timbul daripadamu. Dari (buktinya), dimanakah engkau ketika Allah telah menetapkan perhatian dan pemeli-haraan (qadla qadar) kepadamu, pada zaman azali tidak ada keikhlasan amal dan tidak wujud keadaan (yang mempe-ngaruhi-Nya), bahkan saat itu tidak ada apapun selain semata-mata karunia dan kebesaran pemberian Allah.”

Ini kalau menurut syariat, sebagaimana firman Allah SWT:

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.

“Yang demikian itu kami tetapkan, agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 23)

Jadi kamu tidak perlu bersedih atas apa yang terlewatkan dalam hidupmu. Misal kamu tidak berhasil alim, “Tuhan, betapa pandainya Engkau, saya tidak jadi alim tapi tidak berhasil, memang sudah rencana-Mu tidak menjadikan saya alim. Biar bagaimanapun saya harus bersyukur karena ini sesuai rencana-Mu.”

Tapi andaikan berhasil alim, pun jangan sombong, “Aku berhasil alim, pun bisa menipu, ini kan Tuhan.” Kembali jadi alim itu kehendak Tuhan sesuai dengan rencana-Nya, jadi baik orang alim maupun yang bodoh sama-sama dhaif (lemah), sama-sama sesuai rencana Tuhan. Tidak ada keangkuhan dan berbagai macam hal lainnya. Kita ditanya wajib bersaksi, “Asyhadu alla ilaaha illallah”, itu dari segi ilmu hakikat.

Kemudian sekarang dari segi syariat. Lalu selanjutnya dalam Al-Hikam dikatakan:

عَلِمَ أَنَّ الْعِبَادَ يَتَشَوَّفُوْنَ إِلَى ظُهُوْرِ سِرِّ الْعِنَايَةِ، فَقَالَ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَعَلِمَ أَنَّهُ لَوْ خَلَّاهُمْ وَذَلِكَ لَتَرَكُوا الْعَمَل.اعْتِمَادًا عَلَى الْأَزَلِ، فَقَالَ: إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ.

Allah tahu bahwa semua hamba ingin mendapat rahasia (kebesaran) karunia-Nya, maka difirmankan: Allah menentu-kan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah juga mengerti bahwa andaikan manusia (para hamba) itu dibiarkan begitu saja, mungkin mereka meninggalkan amal usaha karena berserah pada keputusan zaman azali, maka difirmankan: Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.

Allah tahu bahwa hamba-hamba-Nya (para manusia) itu sangat menginginkan ditampakkannya rahasia pertolongan Allah. Orang sangat ini tahu bagaimana sebab saya jadi orang alim. Bagaimana sebab saya menjadi wali, sebab saya menjadi orang kaya. Maka Allah berfirman:

يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Dia menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Ali Imran: 74)

Nah itu, jadi Tuhan itu tahu ketika ada orang ingin tahu mengapa ada pertolo-ngan Allah. Misal kamu ingin tahu, kena-pa ditakdirkan jadi orang alim, jadi orang saleh, ditakdirkan punya uang (kaya), dan bisa hidup tenteram. Kamu ingin tahu sebabnya? Karena Allah memang telah memilihmu.

Sebab jika kamu sekarang jadi orang Islam. Tidak bisa kamu yang jadi penye-babnya. Kamu dipilih jadi orang Jawa, akhirnya lahir dari kedua orang tua yang beragama Islam. Tahu ada orang yang terpilih jadi orang Papua, lahir dalam keadaan kafir dan orang tuanya pun kafir. Kita ditakdirkan jadi orang Islam, sejak SD sampai besar mau kalau pakai celana pendek. Sedang orang yang ditakdirkan jadi orang Papua, sampai tua pakai koteka. Kita sama-sama tidak tahu.

Ada yang ditakdirkan tidak kecil jadi orang kaya seperti orang Abu Dhabi. Kecil kaya, sampai tua pun masih kaya, bahkan sampai mati juga masih kaya. Dan ada yang ditakdirkan miskin, kakeknya miskin, buyutnya miskin, sampai mati pun miskin melanjutkan kemiskinan. Ya sudah seperti itu.

Kalau ada yang bilang, alasan miskin-nya karena beragama Islam, sebab orang barat (yang beragama Kristen) banyak yang kaya. Kata siapa? Buktinya, Burj Al-Khalifa, gedung tertinggi di dunia itu ada di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA) yang mayoritas negara Islam.

Artinya Islam bukan penyebab kemis-kinan, buktinya orang UEA itu kaya-kaya. Klub sepakbola di Inggris itu dibeli orang UEA, berarti miskin karena sebab Islam itu tidak benar. Makanya kemewahan-kemewahan dunia itu juga dipunyai orang Islam.

Dan Allah juga tahu bahwa seandainya Allah membiarkan hamba-hamba-Nya, dan tidak ada pertolongan tersebut, niscaya mereka akan meninggalkan amal karena berpegangan pada ketetapan zaman azali.

Tapi seandainya manusia selalu mengatakan apapun itu sudah ada sejak zaman azali, sudah tertulis di lauh mah-fudz, maka mereka akan meninggalkan amal karena berpegangan hukum takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah.

“Apa gunanya aku shalat, jika catatanku memang baik meski tidak shalat pun nanti menjelang mati tetap baik.”

“Apa gunanya aku bekerja, jika memang tercatat sebagai orang kaya, maka tidak bekerja pun akan tetap kaya.”

Jika orang selalu mengatakan tentang zaman azali, maka mereka akan meninggalkan amal. Karena berpegang pada ketetapan yang azali. Maka Allah berfirman:
“Sesungguhnya rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A’raf: 43)

Akhirnya Allah memotivasi kita bahwa rahmat-Nya dekat dengan orang yang punya amal (ihsan). Jadi, amal ihsan. Jadi, intinya orang itu diingatkan pentingnya qadha qadar, juga diingatkan akan pentingnya amal. Itu semua merupakan firman Allah. Makanya kita ini harus proporsional.

Jadi kita ini baca Al-Qur'an secara haq. Hau kalau membaca, jika memang kita dapat hidayah, maka harus bersyukur dengan membaca:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ

“Segala puji bagi Allah yang telah menunjukan kami ke (surga) ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak menunjukkan kami.” (QS. Al-A’raf: 43)

Tapi Allah berhak dan sah saja ketika kita masuk surga, Allah berfirman:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)

Jadi, secara nyata Allah mempernahkan kita. Memberi alasan kita kenapa kita masuk surga, karena kita punya amal baik, kenapa kita jadi orang baik, karena kita punya ihsan, dan karena rahmat Allah.

Nah, ini yang kemudian disebut perpaduan (bisa menjalankan) antara ilmu hakikat dan ilmu syariat. Jika ruang tamu itu sudah jadi tempat yang bersih maka harus sering disapu. Karena sering disapu maka pemilik rumah tidak terpikirkan untuk menjadikannya toilet.

Tapi misalkan dibalik. Kamu punya ruang tamu yang selalu kotor, semua kencing disitu juga dan tidak pernah disapu, sementara toilet sering disapu jadi bersih. Lama-lama pemilik rumah akan mempertimbangkan. Sepertinya ruang tamu ini cocok dijadikan toilet karena selalu kotor.

Kira-kira pengaruh amal ya seperti itu. Begitu gambarannya bahwa amal itu dapat dipertimbangkan oleh Tuhan.
Selanjutnya dalam Al-Hikam dikatakan:

أَنَّ الْمَشِيئَةَ يَسْتَبِدُّ عَلَى شَيْءٍ وَلَا يَسْتَبِدُّ هِيَ إِلَى شَيْءٍ

“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini hanya bersandar pada kehen-dak Allah. Tapi kehendak-Nya tidak bergantung pada segala sesuatu.”

Jadi segala sesuatu bisa terjadi karena bergantung pada kehendak Allah. Tapi kehendak Allah tidak pernah memper-timbangkan sesuatu. Jadi kehendak Allah itu mandiri.

Tidak bisa, misalkan Allah jadikan Rukhin sholeh dan kaya karena alasan seperti ini, "Aku merasa sungkan dengan Rukhin, dia tiap hari shalat. Dia juga sabar ketika saya jadikan miskin." Kalau ku jadi-kan bulet ya saya merasa sungkan." Berarti kehendak Allah digantungkan dengan rasa sungkan. Tidak bisa seperti itu.

Hanya kepada Allah segala sesuatu tersandarkan. Dan kehendak Allah tidak perlu bergantung dengan apa-apa. Intinya Allah mandiri dan berdiri dalam memutuskan. Allah tidak bisa diatur oleh apapun.

Dalam Al-Hikam dikatakan:
“Adakalanya seorang al-’arif (ahli ma'rifat) terdorong oleh Allah dan menyerahkan-nya pada kebijaksanaan Allah, ia tidak minta apa-apa, karena berserah dan merasa puas dengan pemberian Allah, dan karena sibuk berdzikir, sehingga tidak sempat minta-minta.

Terkadang Allah menunjukan pada para wali (hamba-hamba Allah yang ahli baik) tentang adab (tata krama). Adab karena iman akan adanya kehendak Allah di zaman azali. Mereka terpandu, terdidik untuk meninggalkan permintaan.
Banyak dari mereka yang yakin semua telah kehendak Allah, lalu tidak pernah meminta atau berdoa kepada Allah, karena mereka bergantung pada bagian yang sudah Allah tentukan, “ha-nya, saya kok berulangkali minta kekaya-an dan usaha, itu kan sudah ada catatan-nya. Saya jadi sungkan minta sesuatu yang sudah ada catatannya. Itu sudah skenario Tuhan, kok ditawar.

Sama seperti misalkan kamu yakin Allah menulismu akan jadi kaya atau miskin, kamu pasti yakin kan? Kita yakin atau tidak bahwa kita sudah dituliskan kaya atau miskin? Yakin. Setelah yakin itu kemudian malu akan menawar resensi Tuhan. Skenario Tuhan. Malu kita orang tasawuf, "Dunia ini tidak terlalu lama, Tuhan kok kamu demo? Semua sudah ada catatannya?

Itu sama dengan ketika kamu berdoa ternyata lebih berlebihan. Ya Allah, jangan begitu, cobalah tulisannya dipertimbang-kan lagi. Jangan-jangan tulisan tersebut kurang pas.” Qadha dan qadar kok kamu katakan kurang pas? Kamu kira Tuhan itu presiden, raja, atau hakim, yang bisa salah?

Kalian yakin kalau qadha dan qadar itu sudah dituliskan? Kalau kamu yakin lalu berdoa terus, itu sama dengan, “Cobalah Tuhan itu pertimbangkan lagi. Coba resensi-tulisan itu dievaluasi.”

Nah, orang-orang yang punya adab (tata krama) itu enggan, tidak mau ikut-ikutan. Diam saja, tidak meminta. Karena berpegang dengan apa yang sudah dite-tapkan Allah. Semua itu bukan karena demokrasi ataupun karena malas. Namun karena sibuk berdzikir mengingat Allah daripada meminta kepada Allah.

Orang yang betul-betul wali pasti malu kalau mau meminta pada Allah. Misalkan kamu sakit parah atau akan mati (sakaratul maut). Itu pasti kita merasa takut dan punya keinginan, "Ya Allah, saya mohon khusnul khatimah, ya Allah mohon ridho-Mu." Itu dibenar kalau karena rasa cinta yang sangat dalam, karena isya dan mahabbah kepada Allah.

Artinya cinta yang dalam, hanya ada bagimu di hatimu, “Memangnya hanya Engkau Allah, yang aku minta agar aku mati husnul khatimah. Hanya Engkau yang bisa aku pinta, yang bisa memberi, dan bisa menentukan." Itulah salah satu ciri orang beriman:

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

Tapi masalahnya, di dunia ini ada setan. Semua bentuk doa itu bisa dihalalkan oleh setan, karena doa itu berpotensi tidak terkabul. Apalagi kalau setan membisikkan, "lya kalau terkabul, kalau tidak bagaimana?" Sehingga kemu-dian kita merasa tidak nyaman (ragu), "Sudah sayembara berdoa-berdoa lya kalau terkabul, bagaimana kalau tidak?"

Sekarang bandingkan jika Anda jadi wali dan dekat dengan Allah. Tidak usah berdoa. Tapi bukan karena sombong, hanya ketika akan mati berkata, "Allahu Akbar," begitu lehernya kaku, ketika istrinya nanti maka dia akan mati, karena memang yang abadi hanya Engkau. Allahu Akbar hayyun laa yamuutu. Allahu Akbar hayyun baqi'."

"Bagaimana setan mau melawanmu, karena kamu menyifati Allah abadi. Tidak ada rasa takut su'ul khatimah, karena larut dalam menyifati Allah sebagai Dzat yang Hidup Kekal." "Saya mati, tapi Engkau abadi. Memang pantas saya mati, karena hanya Engkau yang abadi."

Maka Allah berfirman dalam surat Al-Furqan:
"Dan bertawakallah kepada Allah (Yang) Maha Hidup yang tidak mati dan bertas-bihlah dengan memuji-Nya. Cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Furqan: 58)

Itulah Allah. Jadi Allah itu banyak memberikan pendidikan dalam Al-Qur'an agar orang tidak didorong untuk selalu berdoa, jadi kalian tawakkal saja kepada Allah yang hidup dan tidak pernah mati.

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهَا بِهَا

Allah memiliki asmaul husna (nama-nama yang terbaik). Maka, bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut (asmaul husna) itu. (QS. Al-A’raf: 180)

Kita disuruh berdoa dan memanggil Allah dengan asmaul husna, tapi kamu tidak usah menuntut macam-macam, sambil teriak-teriak, "Ya Rahman, ya Rahim, berikan aku khusnul khatimah, berikan aku surga, berikan aku bidadari, dan berikan kenikmatan di surga." Itu namanya menyebut tapi bergantung sendiri.
Dicuplik dari Kajian dan Ceramah Gus Baha. (Dino Tursilam)

Sumber : majalah Aula edisi Oktober 2024