Ciptakan Surga Dunia dengan Ridha pada Allah

Dalam surat Az-Zumar ayat 73-74, Allah SWT berfirman:

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ

Orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara rombongan sehingga apabila mereka telah sampai di sana dan pintu-pintunya telah dibuka, para penjaganya berkata kepada mereka, "Salamun 'alaikum (semoga keselamatan tercurah kepadamu), berbahagialah kamu. Maka, masuklah ke dalamnya (untuk tinggal) selama-lamanya!" (QS. Az-Zumar: 73)

وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي صَدَقَنَا وَعْدَهُ وَأَوْرَثَنَا الْأَرْضَ نَتَبَوَّأُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ نَشَاءُ ۖ فَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

Mereka (penduduk surga) berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya dan mewariskan bumi (di akhirat) ini kepada kami sehingga dapat menempati surga sesuai dengan kehendak kami." (Surga) adalah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal (saleh). (QS. Az-Zumar: 74)

Dalam ayat tersebut, saking berbahagianya penghuni surga, sampai diibahasakan surga sebagai warisan. Yang dimaksud warisan itu begini: Kamu tidak ikut susah payah membuat sawah, yang membuat sawah adalah orang tuamu. Lalu kamu dapat warisan, artinya kamu dapat gratisan.

Kata warisan dalam masalah surga ini, titik kesamaannya sama-sama gratisan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kita masuk surga hanyalah atas karunia Allah SWT, karena amalmu di dunia itu tidak akan cukup membuatmu masuk surga. Karena kalau amalmu diperhitungkan dengan nikmat yang telah Allah berikan selama hidup di dunia itu sudah lebih dari cukup. Kalau kamu nanti masuk surga, semua itu berkat fadhal (karunia) Allah.

Jadi maksud dari warisan dan surga itu wajah tasybih (titik kesamaan)-nya karena sama-sama gratisan. Makanya, ahli surga tetap merasa ridha, berterima (memuji Allah) karena mendapatkan warisan berupa surga, dan dapat menempati surga sesuai dengan kehendak mereka.

Di surga itu tidak ada keterbatasan, kamu tinggal di mana saja bebas. Tinggal di pojok, di atas, di tengah, bebas semuanya milikmu. Karena semua bagian di surga itu nyaman, tidak perlu memilih satu tempat dari tempat yang lainnya. Semua kualitasnya sama, beda dengan di dunia.

Jadi tidak bisa di surga, misalnya, "Gus, kok surgaku di Gunung Kidul, sekali-kali di Bali dong!" tidak begitu. Bagi yang tidak betah panas memilih di Bogor, yang suka panas memilih di Pantura, yang suka terang tinggal di Rembang, atau yang suka Pudak tinggal di Gresik.

Makanya di surga itu tidak ada tempat yang dipilih, mengalahkan tempat yang lain, tinggal di surga bagian mana saja pasti senang, karena semuanya kualitas A.

Beda dengan di Indonesia atau di dunia, kalau mau enak tempatnya bagus ya di Raja Ampat, atau dimana, bisa memilih tempat sesuai keinginan kalau ada dananya.

Tapi bagi para wali yang masih hidup di dunia semua tempat itu sama. Dimana saja sama, asal bisa sujud. Pikiran orang yang saleh harusnya begitu. Bertempat dimana saja asal bisa sujud, berarti sama dengan di surga. Tidak ada tempat yang lebih unggul satu dengan yang lain.

Tapi kalau tiga, kalian ini bisa artinya belum. Pertama, karena kamu di rumah takut sama istri atau orang tua, ketika keluar rumah bahagia (karena bebas). Memiliki daerah pantangan, karena di situ ada orang yang menghutangi, jadi menghindari daerah tersebut. Hidup seperti itu berarti belum di surga, karena masih:

يَخْتَارُ مِنْهَا كُلَّ مَكَانٍ

Memilih tempat yang nyaman di antara beberapa tempat.

Kalau hidup di surga bagaimana?

لَا يُخْتَارُ فِيْهَا مَكَانٌ عَلَى مَكَانٍ

Tidak ada tempat yang bisa dipilih dan lebih unggul dari tempat yang lain.

Maksudnya semua sama. Tidak perlu memilih, semuanya indah. Karena surga adalah sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal baik dan beriman kepada Allah.

Selanjutnya, dalam surat Az-Zumar ayat 75 Allah berfirman:

وَتَرَى الْمَلَائِكَةَ حَافِّينَ مِنْ حَوْلِ الْعَرْشِ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ ۚ وَقُضِيَ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Engkau (Nabi Muhammad) akan melihat malaikat melingkar di sekeliling 'Arasy. Mereka bertasbih sambil memuji Tuhannya. (Urusan) di antara mereka (seluruh makhluk) diputuskan dengan hak (adil). (Ketika itu) dikatakan, Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."

Di surga, Nabi Muhammad SAW akan melihat malaikat melingkar di sekeliling 'Arasy. Di kanan kiri 'Arasy dikelilingi malaikat, sambil bertasbih memuji Tuhannya. Makanya kita dianjurkan agar sering membaca tasbih, karena meniru malaikat.

Kalau membaca tasbih harus yang gagah walaupun di atas bah yang goyang seperti Rembang, karena malaikat tasbih itu gagah semua malaikat di sekitar 'Arasy. Topa wa tidak? Berarti siapa saja yang membaca tasbih sama dengan melakukan amal yang dilakukan malaikat di sekitar 'Arasy.

Jadi tasbih (pujian kepada Allah) bagi malaikat itu sudah seperti bajunya. Malaikat dengan tasbih itu sebagaimana manusia dengan nafas yang melekat sepanjang hidupnya.

Makanya kalau ada pertanyaan, "Bagaimana mungkin malaikat tidak tersibukkan dengan tasbih?" Jawabannya, "Itu sebagaimana kamu ketika makan dan minum, tapi tetap tak henti bernafas." Jadi bagi malaikat, tasbih menyatu sama dengan nafas mereka (tasbihuhum anfusuhum).

Sebagaimana kita yang mencintai Allah. Makan bisa jadi bukti kita mencintai Allah, karena bersyukur diberi nikmat oleh Allah. Tapi kalau tidak bisa makan, ya tetap sabar. Ridha terhadap keputusan Allah.

Mencintai istri, merasa bersyukur diberi nikmat mencintai. Saat bertengkar dengan istri juga bersyukur, diberi nikmat sabar. Saat akur tapi tidak mesra juga bersyukur, jadi bisa keluar nongkrong sama sana-sini. Kuncinya kita harus selalu bersyukur dan ridha kepada Allah. Karena diantara ibadah terbaik adalah ridha kepada Allah.

Maka sering-seringlah membaca setiap hari:

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا

Aku ridha dengan Allah, ridha dengan Islam sebagai agamaku, dan ridha dengan Nabi dan Rasul Muhammad.

Kalau malaikat atau yang lain mendengar dan merestui, "Yang benar aja, masak sih?" Mereka saja berkomentar begitu, jawab saja, lya, namanya juga latihan. Masak latihan saja tidak boleh? Hahaha. Kalaupun ada yang belum bisa ridha dengan takdir Allah, mengucapkan itu kan bisa sebagai latihan.

Dalam sebuah hadits, riwayat Muslim yang diterima dari istri-istri Nabi Muhammad, Juwairiyah binti Al-Harits, disebutkan, bahwa Nabi SAW keluar dari sisinya pada pagi hari ketika shalat Subuh pada saat ia masih di tempat shalatnya, kemudian Nabi kembali setelah waktu Dhuha tiba, Juwairiyah masih duduk. Nabi bertanya, "Apakah engkau masih dalam keadaan ini sejak aku meninggalkanmu tadi?" Juwairiyah mengatakan, "Ya." Nabi SAW bersabda: "Sungguh tadi aku telah mengucapkan 4 kalimat tiga kali yang jika ditimbang dengan apa yang engkau baca sejak hari ini, niscaya akan mencukupinya, yaitu bacaan:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَا نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Maha Suci Allah, aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh Keridhaan-Nya, seberat timbangan 'Arsy-Nya dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya.

Ini adalah wiridan dari Baginda Nabi SAW. Wiridan ini juga menjadi bacaan rutin yang dibaca oleh buyut-buyut saya. Hingga pernah saya i'tikafkan di Ka'bah. Saya baca wirid itu saat thawaf, supaya sakral. Sebenarnya sudah sakral, tapi supaya lebih sakral.

Maha Suci Allah, aku memuji-Nya sebanyak makhluk-Nya, sejauh keridhaan-Nya, seberat timbangan 'Arsy-Nya dan sebanyak tinta tulisan kalimat-Nya.

Di akhirat kelak, akan diputuskan urusan di antara manusia dengan adil. Yang selalu ingat Allah sudah sepantasnya bertemu Allah di surga, peraih masuk surga. Yang mengingkari Allah sudah sepantasnya tidak bertemu Allah di surga, berarti sudah sepantasnya masuk neraka.

Makanya, karena selama di dunia buta mata hatinya dan tidak mengenal Allah, kelak di akhirat juga tidak akan bertemu Allah.

كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

"Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka (orang kafir) pada hari itu benar-benar terhalang (melihat) Tuhannya." (QS. Al-Muthaffifin: 15)

Kemudian mereka ada yang protes:

رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا

"Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu adalah orang yang melihat?" (QS. Thaha: 125)

Allah pun menjawab:

وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ

"Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan." (QS. Thaha: 126)

Kata Allah, "Aku telah menerangkan ayat-ayatKu di Al-Qur'an, hanya saja kamu tidak melihat, buta. Tidak pernah berpikir dan tidak pernah mengaji."

Makanya, berkat ngaji, paling tidak kita tidak buta. Dan kita tidak melupakan Allah, kita harus mau belajar tafsir, tauhid atau tasawuf, meskipun tidak atau kurang paham. Kalau soal lupa itu nomor sekian, bi pun kalau ketemu orang ngaji karena kekaguman, kekarismatikan, atau yang lain. Yang penting jangan sampai termasuk ayat: Atatka aayatuna fanasiitahaa wa kadzaalikal yauma tunsaa.

Pokoknya tetaplah mengaji, niatkan untuk memahami ayat-ayat Allah. Pokoknya jika belum bisa, latihan dan berlatih.

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا

Kalau ada yang tidak ridha dengan Islam sebagai agamaku, dan ridha dengan Nabi dan Rasul Muhammad.

Kalau ada yang tidak percaya jawab aja, "Namanya juga latihan!" Kan bisa saja ada yang tidak percaya, karena wiridannya begitu, tapi setiap hari selalu mengeluh. "Katanya ridha sama Allah, tapi setiap hari selalu mengeluh." Nanti jawab saja, "Iya, ini lagi latihan ridha Allah." Masak latihan saja sudah mengeluh, apalagi jika sudah tidak latihan.

Kemudian orang mukmin masuk ke surga, dan orang kafir masuk ke neraka. Ketika itu para malaikat dan penduduk surga pun mengucap, alhamdulillahi rabbil'alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).

Jadi kalau harus bangga mengaji ke para kiai, di manapun itu. Karena semuanya pasti mengajarkan, alhamdulillahi rabbil 'alamin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).

Jadi, tidak kita di pondok, di rumah, di Indonesia, di bumi Allah, kegiatan kita adalah membaca dan meyakini hamdalah.

dino Turoichan

Sumber : majalah Aula edisi April 2025