Andai Tak Ada Guru, Mungkin Kita Tak Kenal Tuhan
AIlah Azza wa Jalla telah berfirman dalam Al-Qur'an:
وَلَقَدْ وَصَّلْنَا لَهُمُ الْقَوْلَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Sungguh, Kami benar-benar telah menurunkan perkataan itu (Al-Qur'an) secara berkesinambungan untuk mereka agar selalu mengingat-(Nya). (QS. Al-Qashash: 51).
Maksudnya, Allah telah menjelaskan atau menerangkan kepada Ahli Kitab (yaitu berupa bacaan Al-Qur'an), agar mereka mendapat pelajaran, yakni mengambil pelajaran daripadanya, sehingga bisa menjadi sebab mereka beriman.
Ayat washal (sambung) dalam perkara yang haq (benar). Itu maksudnya bayyinah (penjelasan). Jadi kata iwashsholnaa itu berasal dari bahasa arab washala-yashilu-wushlan-maushul yang artinya sambung.
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ
Orang-orang yang telah Kami anugerahkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) kepadanya (Al-Qur'an). (QS. Al-Qashash: 52)
Yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman kepada kitab tersebut juga beriman kepada kitab Al-Qur'an.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang Yahudi yang masuk Islam, antara lain Abdullah bin Salam, juga diturunkan pula berkenaan dengan segolongan orang-orang Nashara yang baru datang dari negeri Habasyah (sekarang Etiopia) dan negeri Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya).
وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ قَالُوا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ
Apabila (Al-Qur'an) dibacakan kepada mereka, mereka berkata: "Kami beriman kepadanya. Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami. Sesungguhnya sebelum ini kami adalah orang-orang Muslim (yang berserah diri)." (QS. Al-Qashash: 53)
Saat Al-Qur'an dibacakan kepada mereka (Ahli Kitab), mereka berkata: kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Rabb (Tuhan) kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang beriman sebelumnya, orang-orang yang mengesakan Allah.
أُولَئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Mereka itu diberi pahala dua kali (pahala beriman pada Taurat dan Al-Qur'an) disebabkan kesabaran mereka. Mereka menolak kejahatan dengan kebaikan dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Qashash: 54)
Orang-orang Ahli Kitab yang beriman kepada Al-Qur'an akan diberikan pahala dua kali lipat, karena keimanan mereka kepada dua kitab, yaitu iman dengan kitab Taurat dengan Al-Qur'an, atau Injil dengan Al-Qur'an. Dan disebabkan kesabaran mereka di dalam mengamalkan kandungan kedua kitab itu.
Ciri utama orang baik lagi adalah mereka menutup kejahatan dengan perbuatan baik. Jadi setelah berbuat kejelekan, disusul dengan perbuatan yang baik Ahli Kitab.
Kalau manusia melakukan kebaikan terus itu pasti mustahil, jadi setelah melakukan kejelekan, cepat-cepatlah melakukan kebaikan dan sebagian rezeki yang telah Allah berikan. Jadi ciri utama meminta ampunan itu, menggunakan rezeki yang diperoleh infaq atau sedekah.
Imam Suyuthi itu pernah memberikan penjelasan tentang kata "washol" yang terdapat dalam ayat di atas. Washal (sambungan) secara fisik bisa diumpamakan seperti tampar (tali), mata rantai seandai itu juga bisa dinamakan sambungan. Sambungan perkara haq (kebenaran) itu dimulai dari bayyinah (penjelasan).
Jadi tidak ada yang disebut nabi, kecuali punya kemampuan memberikan penjelasan sebaik-baik. Sampai orang kafir yang sudah puluhan tahun kafir, setelah mendengar penjelasan nabi bisa menjadi mukmin.
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ * رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً
Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al-Qur'an). (QS. Al-Bayyinah: 1)
Jadi, bayyinah adalah utusan Allah yang membacakan lembaran-lembaran suci Al-Qur'an. Jadi sebab utama Nabi dalam proses dakwah terhadap orang kafir itu dulu masyhur sekali.
Jadi perlu kalian paham, kalau ulama itu beda dengan serorang tukang pidato. Kalau tukang pidato itu dengan meramaikan Islam saja, tapi kalau ulama tidak begitu. Ulama punya bayyinah, penjelasan bisa diterima oleh akal yang sehat.
Misalnya pemjelasan tentang alam itu yang membuat siapa ? Pokoknya yang membuat alam itu dinamakan khaliq ( pencipta ). Kalau menurut islam yang membuat alam adalah Allah, Allah itu dzat yang membuat segalanya.
Terus zaman dahulu, ada orang-orang yang membantah, "jangan-jangan yang membuat ini bukan Allah tapi dzat yang lain?"
Menurut islam, yang membuat segala sesuatu itu adalah Allah. Nama "Allah" itu dari kata"Al-llah", lalu ditaklif ( dibaca ringan ) maka secara bahasa arab jadi "Allah". Pokoknya yang membuat itu harus Tuhan.
Terus ada pertanyaan lagi, "jangan-jangan tidak ada yang membuat, tahu-tahu ada sendiri ?" Kalau ada yang menganggap tahu-tahu ada dengan sendirinya, dan tidak ada sebab, berarti orang goblok (bodoh), karena menganggap sesuatu yang wujud tanpa adanya sebab (yang mewujudkan).
Sebab itu Al-Qur'an mengajari kita, bahwa kita harus meyakini bahwa alam ini ada yang membuat. Allah SWT telah menyindir kita dengan firman-Nya:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ
Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? (QS.At-Thur: 35)
Apakah mereka tercipta tanpa sebab? Pasti kita akan mengatakan, "sesuatu yang tidak ada, tidak mungkin jadi sebab."
Misalkan, kita sepakat sebelum alam ini tidak ada apa-apa, kemudian terciptalah alam. Nah, pernahkah tercipta alam itu tidak ada sebab? Itu namanya gila bersama. Masak sesuatu yang tidak ada, menjadi sebab bagi sesuatu yang ada?
Sebab itu para ulama menjelaskan, tidak ada sesuatu yang tidak ada, mungkin jadi sebab wujudnya alam. Alam adalah sesuatu yang wujud, karena itu penciptanya juga harus wujud, dan yang pasti wujudnya adalah Allah, makanya Allah bersifat Wujud. Wujud yaitu Dzat yang secara akal harus wujud (ada).
Penjelasan para ulama yang bermacam-macam dan bisa diterima oleh akal yang sehat, ini bisa dinamakan Muwasthalah (penyambung) sehingga menjadikan kita sebagai orang mukmin (percaya). Kalau begitu, wushul (sambungan) orang mukmin zaman sekarang hingga Indonesia menjadi berpenduduk muslim terbesar di dunia adalah karena berkat ahlinya ulama.
Maka itu ada yang mengatakan do'a kepada nabi, tapi tidak manjur (terkabul), tapi kalau tawassul (do'a) kepada ulama, malah dikabulkan. Sebab terkadang menyebut nama nabi langsung itu bisa dikatakan sombong, karena tidak mau menyebut ulama sama sekali.
Maka itu nabi tidak senang dengan orang yang sombong. Jadi terkadang maslahat ( kebaikan ) ulama perlu disebut, walaupun beliau itu induknya para ulama pasti baginda Nabi Muhammad SAW.
Mengenai tawassul, saya itu bisa tarekat, tapi tidak usah banyak macam, punya banyak sanad. Bapak saya, KH Nurhasan, itu ikut Tarekat Syadziliyah, tapi Syadziliyah-nya seperti saya, bukan wiridan terus.
Ada pepatah Arab yang sering dibenturkan para habib yang alim, karena beliau sering ngaji dengan saya, dan saya juga pernah ngaji dengan beliau, kalau teman juga alim, saya juga mau barter ilmu, jadi bergantian.
Muwasthalah itu bisa diartikan penjelasan, dan sebab lewat perantara itu orang jadi alim. Maknanya tarekat, guru itu penting sekali. Disebutkan bahwa:
لَوْلَا الْعُلَمَاءُ مَا عَرَفْتُ الْأَنْبِيَاءَ وَلَوْلَا النَّبِيُّ مَا عَرَفْتُ رَبِّي
Andaikan bukan karena ulama, niscaya aku tidak akan mengenal para Nabi. Dan andaikan bukan karena guru pembimbingku, niscaya aku tidak akan mengenal Tuhanku.
Andaikan tidak ada ulama yang menerangkan, nabi itu siapa, mukjizatnya nabi itu bagaimana, kenapa nabi itu pasti benar, dan kenapa nabi itu pasti ma'shum, maka kita tidak akan kenal dengan nabi.
Begitu juga seandainya tidak ada guru yang mendidik dan mengajarkan caranya shalat dan berdzikir, pasti kita tidak akan mengenal dan beriman kepada Tuhan.
Nah, dari sekarang ini, pada sombong sekali tidak mau tawassul kepada ulama, karena menurutnya sudah kenal dengan nabi. Bahkan ada yang setelah tahu dengan nabi jadi makin sombong. Tidak mau saya tawassul kepada nabi, mau langsung minta kepada Allah. Jadi, makin langsung meminta kepada Allah. Akhirnya tawassul dikatakan bid'ah yang sesat. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
Soal kamu tidak suka dengan tawassul, tidak masalah, tapi kami tidak usah mengatakan itu bid'ah yang menyesatkan. Karena Allah itu punya adat, Allah itu Dzat yang Qadim (dahulu). Sesuatu yang Qadim itu tidak bisa tersentuh dengan sesuatu yang hadits (baru) yaitu makhluk. Sehingga kita tahu Allah itu lewat nabi, karena nabi itu makhluk.
Kelebihan makhluk itu bisa tersentuh, sehingga kita bisa tahu Allah itu lewat nabi. Sayangnya Baginda Nabi sekarang sudah tidak ada, jadi kamu kalah takdir. Kamu tidak bisa sowan langsung ke Nabi. "Wahai baginda Nabi, pokoknya aku ingin ilmu dari anda. Saya tidak butuh dengan yang lainnya.". Umpama bisa bertemu, Nabi pasti bertanya : "Kamu tahu saya dari siapa ?" Lalu kamu jawab, "Dari Gus Baha." Jadinya susah kan untuk menjawab lagi, katanya tidak butuh yang lain.
Makna di dunia tasawuf itu ada hikayat, kalau kamu tidak percaya (hikayat), tapi kalau saya percaya. Karena orang bodoh itu memang sukanya tidak percaya. Ini tidak ada urusan demokratis atau tidak.
Dikisahkan ada tiga murid, salah satunya alim, salah satunya kurang alim.
"Cing, kalau kamu nanti masuk ke kubur, ingat saya ya!" Dijawab, "Iya Pak Guru!"
Selanjutnya, saat ketiga murid tersebut jatuh tenggelam ke laut, yang satu murid taat. Tiga murid tenggelam, gurunya ikut tenggelam juga. Ternyata yang ingat kepada gurunya itu bisa menyelamatkan diri. Tapi yang ingat dengan Allah, malah tidak bisa selamat. Inilah hal unik dari dunia tarekat.
Satu murid yang guru tanya tadi bisa selamat sendiri, sedangkan kedua murid lainnya bisa selamat setelah ditolong gurunya. Kedua murid tersebut ditanya: "Kamu kok bisa tenggelam tadi ingat siapa?"
"Ingat Allah! jawab keduanya. Kenapa tidak ingat denganku?"
"Karena Anda makhluk," lanjut mereka.
"Nah, kalau ingat Allah, tapi sebab itu kamu jadi sombong. Kamu tidak usah ingat denganku, tapi ingin langsung ingat kepada Allah. Memangnya kamu tahu Allah itu dari siapa?" tanya sang guru.
"Ya dari Anda," jawab mereka.
"Berarti kamu ingat kepada Allah itu karena sombong," pungkas sang guru.
Jadi, kita ini biasanya memang seperti itu. Makanya kita berada di tengah-tengah. Allah SWT berfirman:
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. (QS. Luqman: 14)
Itu pakai wawu athaf. Kenapa itu tidak kamu katakan syirik? Bagaimana mungkin, orangtua disejajarkan dengan Allah? Padahal itu makhluk dan ayat tersebut. Kenapa Allah tidak marah kalau begitu. Bagaimana Al-Qur'an itu, kok malah mengajak orang syirik. Bagaimana mungkin Allah disejajarkan dengan orang tua?
Ini tidak bisa begitu, kamu wujud (ada) itu karena orang tua. Walaupun orang tuamu tidak jelas seperti kamu. Tapi kamu jadi wujud (ada) itu karena mereka (kedua orang tua).
Disarikan dari ceramah Gus Baha ( Dino Turoichan )
Sumber : majalah Aula edisi Mei 2024