Ada Yang Sering Ziarah Wali Tapi Jarang Sholat ?

Syekh Ibnu Atha'illah (648-709 H) merupakan seorang sufi terkemuka dalam Islam. Nama lengkapnya Muhammad ibn Abdul Karim ibn Atha'illah al-Sakandari. Ia merupakan salah satu turunan bangsa Arab yang hijrah ke Mesir, tepatnya di Iskandariah (Alexandria), setelah pembebasan Islam. Ibnu Atha'illah menurut beberapa riwayat, sezaman dengan Imam Abu Hasan asy-Syadzili, seorang pendiri tarekat Syadziliyah. Oleh karena itu, di samping pribadinya sebagai seorang sufi ia tercatat menjadi pengikut tarekat Syadziliyah.
Syekh Ibnu Atha'illah, dalam kitab karyanya, Al-Hikam, mengatakan:

مِنْ عَلامَةِ اتَّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَالتَّكَاسُلِ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ

Termasuk tanda seseorang mengikuti hawa nafsu adalah segera mengerjakan amalan sunnah, tapi bermalas-malasan dalam melaksanakan amalan wajib.

Jadi tanda beramal yang tidak benar adalah ketika diajak beramal sunnah ia sangat bersemangat, tapi sangat malas jika diajak beramal yang hukumnya wajib. Hal seperti ini kadang merepotkan. Diajak Ziarah Walisongo yang seribu gembira banget, tapi kalau diajak rutin shalat fardhu susahnya bukan main.

Di daerah saya banyak yang seperti itu, ketika hari raya shalat Idul Fitri atau Idul Adha semua, tapi enggan dan tidak mau shalat jumat. Seperti inilah kebanyakan orang awam. Ziarah Walisongo senang, tapi meneladani seperti para wali dalam ngopeni (merawat) umat, mereka tidak mau.

Pokoknya tanda mengikuti hawa nafsu adalah diajak perkara yang sunnah semangat, tapi susah diajak melakukan perkara wajib. Makanya, ini bisa peringa-tan bagi kalian, saat menghadapi orang nakal yang bertaubat.

Hingga sekarang saya kadang bingung, orang nakal yang bertaubat itu, itu rata-rata memilih dengan cara istighfar dan muja-hadah. Jika disuruh minta maaf atau membayar hutang kepada para korban-nya, mereka tidak mau. Padahal, hal pertama yang wajib bagi orang taubat adalah minta maaf pada korban, atau membayar hutang yang menjadi kewajibannya karena mencuri, merampok atau mencopet.

Tapi rata-rata tidak mau, justru memilih jalan istighfar dan hal-hal yang tidak wajib dan tak penting. Itu kan repot. Jika kamu tegur nanti menggerutu atau justru jadi tidak mau taubat, malah repot lagi. Jika kamu biarkan juga keliru, karena dia meninggalkan hal yang wajib. Maka orang-orang paling susah adalah ulama.

Ibarat terjadi deal dengan yang membingungkan, terus harus fatwa seperti apa? Karena kita tahu watak orang itu. Misalnya, ada orang pernah mencuri kambing seperti di kampung-kampung. Jika dia taubat, walhasil taubatnya dengan tinggal di masjid, jadi tukang sapu masjid.

Saat bertaubat ia bilang ke saya, "Gus, pokoknya saya mau bertaubat. Tapi jika disuruh meminta maaf atau mengaku, enggan saya. Selain malu, mengganti kambing juga berat. Tapi kalau menyapu masjid, masih ringan bagi saya."
Itu kan serba repot, kita jadi kiai punya perhitungan, jika sampai dia mengaku, lalu ditangkap polisi. Repotnya nanti malah tidak jadi taubat. Tapi jika tidak mengaku, nanti akan dituntut di akhirat, karena hal wajib yang pertama adalah meminta maaf kepada orang yang pernah dizalimi.

Tapi yang penting kita sebagai orang alim, ulama atau kiai, tetap berani berfat-wa, pokoknya kita harus mendahulukan yang wajib. Tapi jangan terlalu fanatik (keras) dengan fatwa tersebut, karena saya tahu guruku dan bapakku, adatnya seperti ini.

Misalnya, saya punya hutang Rp10 juta, dan sudah seharusnya wajib saya bayar. Kemudian ada tamu, tamu tersebut misalnya saya jamu dengan biaya Rp 1 juta, memang sudah adat orang-orang saleh terdahulu untuk tetap menghormati tamu, walaupun habis Rp 1 juta. Padahal, masih punya kewajiban hutang Rp10 juta.
Makanya tidak ada fatwa ulama yang ada di kitab salaf, kecuali harus dikoreksi dengan perilaku ulama lokal. Karena jika harus mengikuti kitab untuk mendahulu-kan yang wajib, berarti jika ada tamu, biarkan saja, karena memberi suguhan kepada tamu itu hukumnya sunnah. Lebih baik uang saya kumpulkan untuk membayar hutang (wajib).

Jadi kalau ada tamu, diabaikan saja. Memberi jamuan tamu itu kan sunnah, yang wajib kan bayar hutang. Ya repot, makanya kiai-kiai repot sekali cara melihathis (dalil). Maka muncullah golongan ekstremis, yang hanya percaya teks tapi tidak percaya perilaku sosial di masyarakat.

Bahkan Nabi juga pernah punya hutang, tapi ya kalau ada tamu, beliau tetap menghormati. Padahal Nabi punya hutang, bahkan sampai wafat pun nabi masih punya hutang kepada orang Yahudi.

Pada saat mau hutang sama orang Yahudi, tapi mereka belum percaya. Padahal saat itu Nabi harus memberi nafkah kepada istrinya, kalau sekarang mungkin butuh berapa kilo beras, untuk makan sehari-hari. Ketika orang Yahudi meminta jaminan, Nabi berkata: "Langit saja percaya padaku, masa kamu tidak percaya?"
"Itu kan menurut orang Islam, sedangkan saya ini Yahudi," jawabnya. Akhirnya Nabi memberi jaminan berupa baju perang, dan orang Yahudi pun berkenan.
Walhasil, sampai Nabi wafat, Nabi masih meninggalkan hutang. Hal ini kalau menurut kiai alim menafsirkannya, Nabi itu ikut kebiasaan manusia, jadi umumnya orang malu hutang sama menantu. Padahal Nabi punya menantu kaya, yaitu Sayyidina Usman. Tapi umumnya orang, jika hutang kepada menantu itu malu. Kiai Jawa menafsirkannya itu mudah.

Sebab, katanya Sayyidina Usman terkenal begitu kaya, tapi mertuanya justru memilih hutang pada orang Yahudi. Jadi tidak bisa memungkiri umumnya manusia, bahwa hutang kepada menantu itu malu, itu dahulu. Tapi kalau zaman sekarang orang pada tak punya malu, hutang menantu malah sering, hutang ipar juga biasa. Ini sudah tidak punya malu, jadi tidak bisa buat contoh.

Ada orang yang mati punya hutang, padahal mampu bayar. Tapi begitulah kehendak Allah. Hampir tidak ada orang mati yang tak meninggalkan hutang, baik hutang harta atau hutang kebaikan. Apalagi orang-orang kaya, justru banyak hutangnya. Tapi mereka tak tanjul, disebut orang kaya, walaupun hartanya yang banyak itu berasal dari hutang atau cicilan.

Makanya, kata Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim: Nabi pemah hendak menyalatkan jenazah, dan sudah diletakkan di depan beliau, hendak takbir, lalu Nabi bertanya, “Apakah jenazah ini punya hutang?”
“Betul, dia punya hutang 2 dinar,” jawab seseorang. Dua dinar zaman dahulu itu banyak lho, saya pernah menghitung 1 dinar itu 4,2 gram emas, berarti kalau dua dinar itu 8,4 gram. Jika satu gram Rp 300 ribu, maka 8 gram berarti Rp 1,2 juta. Kalau 1 dinar Rp4,2 juta berarti 2 dinar lebih dari Rp4,4 juta
Walhasil, Nabi itu lalu mengatakan: “Hutang itu nanti akan dituntut di akhirat, saya tidak jadi menyalatkan dia.” Nabi pun berbalik kanan hendak pergi. Lalu ada Qatadah pun menjawab: “Saya yang akan membayar hutangnya, wahai Rasulullah.” Setelah ada yang sanggup membayar, Nabi pun kembali untuk menyalatkan dan mau menjadi imam.

Ini menunjukkan betapa pentingnya perkara wajib dalam konteks ini, membayar hutang. Padahal, sahabat itu juga sering mengadakan acara makan-makan, jika ada tamu juga diberi suguhan. Suatu hari kemudian, Qatadah pun dipanggil Rasulullah: “Wahai Qatadah, hutangnya sudah kamu bayar belum?”
“Belum ya Rasulullah, yang penting saya yang akan bayar,” jawabnya.
Sahabat itu terkadang seenaknya sendiri. Walhasil, Nabi pun agak menyesal telah menyalatkan dan berkata: “Bayarlah hutangnya, saya yang tahu bahwa orang tersebut sedang diazab, saya tunggu di sini, bayar sekarang, jika sudah dibayar, beritahu aku, saya tunggu.” Setelah dibayar, Nabi lalu berkata: “Alhamdulillah, kulit jenazah ini sudah dingin, karena hutangnya sudah dilunasi.”

Nah, dari peristiwa ekstrem ini, kemudian Kiai Jawa mengenali, yang berziarah juga mengenali. Saya berkali-kali melintas ketika mengantarkan jenazah, tapi tidak pernah istihlal (meminta kehalalan) terhadap jenazah. “Apabila jenazah ada hak adami, mohon diikhlaskan ya!” Tapi yang menjawab “iya” itu mungkin bukan orang menghutang. Makanya saya pernah beberapa kali melepas jenazah, tapi tidak mengucapkan istihlal.
Ditanya sama kiai, “Gus, kok tidak ikut istihlal?”
“Yang menjawab iya itu bukan yang menghutang, maka istihlal tidak ada gunanya,” jawab saya.
Apabila ada hak adami dan tidak bisa diikhlaskan, silahkan hubungi ahli warisnya. Apabila ringan diikhlaskan ya!” Dijawab para pentakziyah dengan lantang banget “iya”. Padahal yang menjawab itu bukan yang memberi hutang.
Nah, tapi kiai Jawa itu memang baik, karena itu buat menyiasati, agar hutang tersebut diambil alih oleh ahli warisnya. Tapi Nabi Muhammad adalah nabinya banyak orang dan baik sendiri, ketika ada yang wafat punya hutang, Nabi juga tidak selayaknya melakukan itu.

Kata Imam Nawawi, Nabi sempat berkata: “Saya tidak usah menyalatkan, tapi kalian saja yang menyalatkan sahabat kalian.” Makanya menjadi kesepakatan ulama Ahlussunnah, jika ada orang mati masih punya hutang, dimana dalam Hadits Shahih saat itu Nabi tidak berkenan menyalatkan, tapi Nabi sempat mengatakan:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“Shalatkanlah sahabat atau saudara kalian.”

Makanya kata Imam Nawawi, jika ada orang mati bunuh diri atau mati karena minum oplosan, maka kiai induk (sepuh) kalau bisa jangan ikut menyalatkan. Supaya jadi terapi agar orang-orang menjauhi bunuh diri atau minum oplosan.
Tapi wajib menyuruh orang lain atau santri untuk menyalatkan. Sebagai pengingat bahwa bagaimana pun meski pezina atau pencuri, tapi jika mati sebagai mukmin, maka harus dishalatkan.

Makanya Mbah Zubair (ayah Mbah Moen), masyhur jika ada orang fasiq mati, Mbah Zubair langsung, “Kamu aja yang menyalatkan, Cung. Kalau aku tidak pantas.”

Tapi ya Mbah Zubair datang begitu, berada di tengah-tengah. Jika kalau kiai induk yang menyalatkan, nanti ada yang menafsir: “Orang fasiq kok dishalati?” jika semua tidak mau menyalati, maka menjadi syariat yang buruk, karena ada orang Islam yang mati tidak dishalati, padahal itu hukumnya wajib (fardhu kifayah).
Tapi jika ada orang-orang ustadz, tapi entah bagaimana menanggapinya itu tidak karuan. Ada orang saleh yang mati karena bunuh diri, tapi tidak tahu sebabnya. Orang seluruh desa pun tidak berani menyalati, walhasil akhirnya ada satu atau dua orang alim yang menyalati, lalu ada yang bicara bisik-bisik: “Orangnya ahli gantung diri, kok orang alim malah ikut menyalati?”

Padahal orang alim tersebut punya kepentingan, buat pengingat bahwa orang mati dalam keadaan Islam itu harus dishalati, akhirnya yang menya-lati hanya tiga orang. Begitu juga masih diejek: “Orang bunuh diri kok dishalati.” Padahal orang alim itu takut kepada Allah, jangan sampai orang mukmin mati tapi tidak dishalati, karena itu hukumnya fardhu kifayah.

Soal Nabi di hadits Shahih Muslim tidak berkenan menyalati, sebagai pengingat untuk terapi, tapi Nabi juga tetap bersabda: “Shalatkanlah sahabat (saudara) kalian.” Ingatlah, ini peringatan buat kalian, karena jadi ulama atau kiai itu susah.

Karena ada beberapa perhitungan, yang jelas perhatikan perkataan ulama yang ada dalam kitab harus dikoreksi dengan perilaku ulama kita.
Semua ulama itu punya hutang, tapi tetap saja memberi ke santri, ada orang kekurangan, diberi uang, ada tamu dihormati. Maksudnya, punya hutang ya ada anggaran yang disisihkan untuk membayar, dan untuk kebaikan juga ada perlu dianggarkan.

Tapi kalau ada orang taubat yang sukanya dengan baca istighfar, ya biarkan saja. Jika orang taubat yang sukanya dengan menyapu masjid, ya biarkan saja. Jangan kamu paksa melakukan hal wajib, saya yakin pasti goyah (tak jadi taubat), karena panutanmu bagi dia bertemu orang yang pernah ia curi atau rampok.
Makanya kata Imam Syafi'i: Jika ada teks dalam kitab itu bisa kamu pahami dengan ijma' ulama yang masih hidup. Sebab bagaimana pun yang masih hidup itu yang punya tanggung jawab cara melaksanakan syariat.

Para ulama yang sudah wafat itu hanya berkata: “Jika ada wajib yang bertentangan dengan sunnah, maka harus ikut yang wajib.” Hanya berkata begitu, tapi misalnya kamu punya hutang Rp500 ribu, dan waktunya membayar hari itu, dan saat itu gurumu, orang tuamu, atau saudaramu datang. Dimana mereka butuh uang atau uang pangnya mereka pantas diberi uang, jadi kamu butuh mengeluarkan uang Rp100 ribu. Ternyata tidak kamu beri uang sama sekali, dengan alasan “memberi uang kepada orang tua itu sunnah, sedangkan membayar hutang itu wajib.” Ya repot kalau begitu.

Jangan sampai emosi itu juga tengah-tengah saja, Rp400 ribu buat membayar hutang, dan yang Rp100 ribu berikan pada guru, orang tua atau saudara yang sedang membutuhkan bantuan. *

Disarikan dari ceramah dan kajian Gus Baha. (Dino Turoichan)

Sumber : majalah Aula edisi Desember 2024